Sabtu, 26 Juli 2008

Surat untuk Ibu Menteri


Mencermati Pertemuan WTO di Jenewa


Kepada Yth. Menteri Perdagangan, Ibu Marie Elka Pangestu yang mungkin saat ini sedang berada di Swiss atau sudah kembali ke Indonesia. Surat yag saya tulis hanyalah sekedar penyampaian aspirasi saya sebagai rakyat Indonesia. Ketika saya mencermati berita di Media Indonesia maka saya tertarik untuk menulis surat ini.

Sudah banyak pertemuan dihadiri oleh perwakilan Indonesia di WTO (World Trade Organization). Pertemuan yang dilakukan adalah wujud dari pergaulan Indonesia di kancah internasional. Sekarang Indonesia menjadi kooordinator G-33 sebagai wadah asprasi negara-negara berkambang untuk memperkuat daya tawar mereka di pertemuan WTO kali ini. Saya berharap dengan wadah ini Indonesia mempunyai daya tawar yang kuat di kancah perdagangan dunia. Karena selama ini Indonesia hanya jadi negara ‘sapi perahan’ negara-negara maju.

Apabila dicermati, WTO hanyalah sebuah bentuk organisasi jebakan untuk mengekang negara-negara miskin. Setiap anggotanya yang mempunyai sedikit modal dikendalikan sistem ekonominya. Negara-negara miskin hanya bisa manggut-manggut kepada negara-negara kaya. Meskipun namanya ‘perdagangan bebas’ tetapi tetap tidak semua negara mempunyai kebebasan dalam melakukan transaksi perdagangan dunia. Misalnya, ketika saat ini G-33 mengusulkan negara-negara maju untuk mengurangi subsidi produk pertaniannya, mereka tidak mau menguranginya. Akibatnya, harga produk pertanian sebagai komoditas unggulan negara berekembang tidak mudah bersaing di pasar Internasional.

Perlu diketahi, banwa ternyta bagaimanapun negara-negara G-33 tidak akan pernah peunya daya tawar yang kuat dalam sistem pedagangan dunia. Nagara-nagara maju tetap saja akan memegang kendali karena mereka yang mempunyai inisiatif mendikrikan WTO. Dengan begitu, mereka sudah punya rencana untuk menggunakan setiap kesepakatan demi kepentingan mereka. Negara-negara berkembang akan mengalami kesulitan dalam memasarkan produk dalam negerinya. Harga komoditas dunia akan terus direkayasa oleh Negara maju agar keuntungan yang besar dapat mereka peroleh.

Suatu keanehan, ketika Indonesia ditekan oleh IMF untuk mengurangi jumlah subsidi dalam negeri negara-negara maju malah mempertahankan subsidi mereka. Dengan begitu, harga komoditas yang mereka ekspor lebih murah. Pasar dunia akan memilih harga yang lebih murah dibandingkan harga yang mahal. Produk mereka pun lebih leluasa masuk ke banyak negara karena negara tersebut memilih produk yang lebih murah. Hal ini sangat kentara pada komoditas jagung dan kedelai yang telah membanjiri pasar Indonesia. sampai-sampai untuk membuat tahu pun kedelai sebagai bahannya harus impor dari Amerika.

Indonesia harus mengkaji kembali keikutsertaannya di WTO. WTO hanyalah bentuk laian dari penjajahan ekonomi. Kalau kondisinya terus seperti ini, maka lambat laun negeri ini akan menjadi negara paling miskin. Tidak akan ada barang yang dapt dijual ke luar negeri untuk memperoleh pendapatan karena kalah bersaing dengan negara lain. Jadi, keadilan perdagangan yang digemborkan oleh Ibu Menteri sepertinya tidak akan pernah terjadi. (Media Indonesia, 27/7/2008).

Tidak ada komentar: