Rabu, 24 Juni 2009

Manifseto Hizbut Tahrir


Pada hari sabtu (20/6) lalu telah digelar acara Manifesto Hizbut Tahrir: Jalan Baru untuk Indonesia dimana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyeru umat Islam Indonesia untuk bersegera menegakan syariah Islam dalam bingkaian Daulah Khilafah Indonesia. Hadir sebagai pembicara Ust. Farid Wajdi S.Ip (DPP HTI), Ust. Taufik Abdul Karim (DPD I HTI Jawa Barat) dan Ust. Dr. Arim Nasim, SE., M.Si. Ak beserta sebagai pembanding diantaranya Herman Y. Ibrahim (Pengamat Politik), Achueviarta, SE., M.Si (Pengamat Ekonomi) dan Ade Makmur K, Drs., M.Phil (Pengamat Sosial). Acara tersebut salah satu rangkaian acara yang diselenggarakan oleh HTI untuk menyeru Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menjadikan syariah Islam sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Pandangan Hizbut Tahrir dituangkan dalam sebau buku yang saat itu dibahas diaman terdapat rangkaian konsep kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh rakyat Indonesia dengan umat Islam sebagai mayoritas. Sudah saatnya bangsa Indonesia menaggalkan sekulerisme sebagai akidah yang selama ini telah membwa umat ini pada jurang kehancuran. Berbagai krisis yang terjadi hanya akan selesai jika Islam dijadikan solusi. Peserta yang memadati aula PSBJ Fasa Unpad Jatinangor mendengarkan pemaparan dari pembicara dan tanggapan dari para panelis. Pemaparan seputar garis besar syariat Islam di bidang sosial, politik dan ekonomi. Pembahasan sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat sebagaimana Rosululloh memberikan gambaran Islam kepada para sahabatnya.

Kamis, 11 Juni 2009

Mari Dakwah Politis!

Ada semacam anggapan umum bagi para pengemban dakwah di tengah masyarakat bahwa harus ‘hati-hati’ ketika menyampaikan sesuatu pada objek dakwahnya. Anggapan seperti ini membuat mereka senantiasa menyampaikan hal-hal yang ‘tidak sensitif’ ketika berbicara dalam majelis-majelis ta’lim. Sejak dulu, menjadi suatu hal yang tabu jika seorang da’i berbicara politik di masjid-masjid karena itu merupakan hal sensitif dan akan mengundang banyak kontroversi. Namun, apakah benar selalu seperti itu?
Sudah hampir empat tahun saya dan teman-teman menjambangi wilayah pedesaan di sekitar Jatinangor, Kabupaten Sumedang untuk sekedar bersilaturim atau mengisi pengajian di masjid-masjid. Isi dari pembicaraan kami ya tidak jauh dari isu politik yang ada dan dibandingkan dengan pandangan Islam terhadap realita yang ada. Sungguh sesuatu yang luar biasa dan diluar dugaan, mayoritas dari mereka mengerti dengan apa yang kami maksud. Bahkan mereka begitu bersemangat ketika berdiskusi dengan kami karena jarang sekali ‘model pengajian politik’ seperti ini.
Ketika menyaksikan kondisi seperti ini, maka saya menyimpulkan bahwa ‘dakwah politik’ itu memang bisa diterima di masyarakat _walaupun ada juga yang kontra_. Stigma negatif tentang ‘bahaya’ dakwah politik ternyata tidak terbukti. Ketakutan yang ada benar-benar tidak terbukti seperti takut dicemooh, tidak ditanggapi bahkan diusir dari kampung mereka _benar-benar tidak terbukti!
Maka dari itu, saya mengajak kepada para aktifis dakwah untuk menyampaikan Islam secara gamblang kepada masyarakat. Kita jangan suka menyembunyikan kebenaran ketika saudara kita membutuhkan sebuah pencerahan. Dakwah yang kita lakukan harus inovatif tidak hanya berbicara pada tataran ibadah ritual dan masalah mengelola hati. Masyarakat saat ini membutuhkan informasi yang jelas terhadap kondisi politik yang terjadi dan bagaimana Islam menyikapinya.
Bila kita senantiasa ragu untuk berbicara politik di tengah opini dakwah kita, maka itu sama saja mengajak ummat untuk tidak peduli terhadap realitas yang ada. Secara tidak langsung masyarakat menjadi sekuler dimana masih melihat politk dan Islam adalah hal yang berbeda dan tidak mungkin ‘nyambung’. Padahal Islam adalah ideologi yang agung dimana masalah politik adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Pada saat saya berdiskusi dengan Bapak-bapak di Sindanglaya, Desa Sindangsari ternyata mereka tahu lebih banyak dari saya dan mereka pun berani mengeluarkan ‘unek-unek’- nya. Bahkan mereka bisa menilai bagaimana dzolimnya penguasa sekarang ketika tidak menjadikan syariat Islam sebagai aturan tata negara di negeri ini dan diberbagai belahan penjuru dunia lainnya.
Menurut saya, hilangkan stigma antara ‘orang awan’ dan ‘orang alim’ karena ternyata mereka pun faham dengan bahasa politik yang ‘ngejelimet’. Mereka faham apa itu demokrasi, Kapitalisme, sosialisme dan bahasa politik lainnya. Ya, wajar karena intinya sama yakni kemunafikan, kedzoliman dan kekufuran.

Kamis, 04 Juni 2009

Peternak Rakyat Masih Terpuruk

Mencermati Terbentuknya Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan


Sejak lama insan peternakan di Indonesia mengalami kondisi yang tidak pasti dalam menjalankan usahanya. Fakta membuktikan bahwa ternyata peternak lokal kalah bersaing dengan produk impor atau investor asing yang memiliki peternakan di Indonesia. Ketatnya persaingan terjadi akibat adanya globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang sulit untuk dibendung. Maka dari itu, perlu adanya aturan yang adil untuk melindungi peternak lokal agar tidak mengalami keterpurukan seperti yang saat ini terjadi.
Untuk menjawab problem tersebut, maka sejak Selasa (12/5) lalu, DPR telah mensahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi Undang-undang. Undang-undang ini merupakan revisi UU No. 6/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Isi dari UU ini berbicara tentang usaha perlindungan sumberdaya lokal, pengaturan distribusi peternakan serta kesehatan hewan.
Namun, ternyata ada beberapa hal yang masih menjadi ganjalan banyak pihak megenai isi UU tersebut terutama mengenai upaya perlindungan peternak lokal dari ‘serangan’ modal asing yang sulit untuk dibendung. Berdasarkan Bab Penjelasan, lahirnya UU ini dimotori oleh General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) 1994 sebagai konsekuensi Indonesia masuk ke dalam ‘kubangan lumpur’ perdagangan bebas. Maka, wajar jika ‘ruh’ dari UU ini cenderung memberikan ruang yang lebih leluasa kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indoensia.
Lalu, bagaimana nasib peternak lokal? Undng-undang ini tidak secara tegas dan jelas memberikan tameng dalam rangka melindungi peternak lokal. Malahan, memberikan ruang yang lebih leluasa kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sebagaimana tertera pada pasal 31 ayat (2). Disana dijelaskan bahwa Perorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerjasama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundangan lainnya yang terkait. Jika hal ini terjadi maka sudah diprediksi peternak lokal mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya karena kalah dalam bidang modal.
Kita jangan aneh jika nanti akan ada banyak peternak dari luar negeri yang mengembalakan ternaknya di sekitar rumah kita karena UU ini memperbolehkannya. Kita pun jangan aneh jika nanti akan ada banyak ternak lokal seperti domba Garut yang dibawa ke luar negeri karena UU ini memperbolehkannya. Sekarang saja sudah banyak perusahaan yang mendominasi berbagai komoditas ternak dimana peternak kecil mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.
Seharusnya UU yang dibentuk adalah bentuk proteksi demi peternak lokal berupa aturan penanaman modal yang ketat serta aturan regulasi dan distribusi hasil ternak yang ketat. Apabila pembentukan UU ini dikonsentrasikan ke arah sana maka akan terbentuk sistem distribusi peternakan yang terintegrasi dengan baik. Jika distribusi diatur dengan baik, diharapkan tidak terjadi impor besar-besaran yang justru merugikan peternak rakyat seperti kasus susu impor dari Australia dan New Zeland baru-baru ini. dalam kasus ini, peternak rakyat mengalami kesulitan penjualan produknya karena pihak perusahaan mengurangi jatah susu lokal dan digantikan dengan susu impor yang jauh lebih murah.
Seharusnya, ada banyak pasal yang mengatur pola penyebaran lokasi peternakan supaya tidak terkonsentrasi pada satu tempat dan satu pihak saja. Adanya UU ini justru semakin mengokohkan kartel-kartel peternakan yang sudah ada dan memaksa peternak kecil mengikuti sistem yang sudah ada. Jadi, UU ini bukan mengubah sistem yang ada _yang jelas merugikan_ tetapi menguatkan jaringannya. Misalnya, pola kemitraan antara perusahaan dan peternak rakyat yang membuat pola perdangangan ternak menjadi oligopsoni artinya harga komoditi ditentukan oleh segelintir orang.
Selain itu, ada hal penting yang dilupakan dalam UU ini yakni membangun motifasi masyarakat untuk beternak. Pada Bab Pengembangan Sumberdaya Manusia hanya dituliskan berbagai program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dimana pada faktanya hal tersebut kurang efektif dan merata. Pasal tersebut hanya menyoroti individu peternak yang sudah berkiprah di bidangnya saja tanpa memberikan imbauan positif bagi masyarakat yang tidak menekuni usaha peternakan. Sebaiknya, ada pasal yang mengharuskan Pemerintah dan pihak terkait memberikan pendidikan publik untuk membuka wawasan tentang dunia usaha ternak. Praktisnya, harus ada iklan atau input pengetahuan yang mengajak setiap orang untuk menekuni usaha peternakan. Imbauan ini akan berimbas pada cara pandang seseorang tentang peternakan sehingga tidak terkesan ‘kurang menjanjikan’. Opini ini akan menggiring pola ekonomi negeri ini yang tadinya berbasis industri beralih menjadi berbasis pertanian _terutama peternakan_.
Hal terpenting untuk membangun dunia peternakan di negeri ini adalah pembangunan sumber daya manusia bukan sekedar pembangunan infrastruktur semata. Geliat ekonomi peternakan rakyat yang diharapkan banyak pihak hanya akan terjadi jika ada motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksi ternaknya. Sudah seharusnya, peraturan yang ada menitikberatkan pada pembangunan motifasi masyarakat bukan malah ‘membunuhnya’. Kita pun tidak ingin sentra-sentra peternakan di negeri ini (seperti Pangalengan, Lembang, Boyolali dll.) hilang karena para generasi mudanya enggan untuk meneruskan usaha orangtuanya!