Minggu, 27 April 2008

Bisakah Indonesia Memiliki Kedaulatan Pangan ?


Ketika mencermati kondisi pertanian Indonesia maka kita tidak akan terlepas dari seberapa besar peran petani dan pemerintah. Sebagai eksekutor pengembangan pertanian, petani tidaklah akan bekerja secara maksimal tanpa adanya peran pemerintah sebagai motor penggerak. Segala kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian akan berkorelasi langsung dengan kondisi pertanian di dalam negeri. Itulah yang disampaikan oleh Ir. Winarno Tohir (Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Indonesia) di sela seminar Ketahanan Pangan Nasional dengan tajuk Strategi Merebut Kedaulatan Pangan Nasional di Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor tanggal 26 April 2008.

Winarno berpendapat bahwa harus ada keselarasan kebijakan pemerintah dengan kondisi petani di lapangan. Dia melihat, selama ini sering terjadi ketimpangan kebijakan yang menyebabkan kerugian yang dialami petani. Saat ini, petani mengalami berbagai masalah dalam mengelola pertaniannya, terutama padi yang menjadi komoditi pangan yang vital bagi masyarakat Indonesia. Diantara masalah yang menjadi buah ketimpangan kebijakan tersebut antara lain :
1) Pemakaian benih unggul berlabel yang baru mencapai angka 49 %. Artinya distribusi benih berlabel yang disarankan pemerintah belum merata. Wajar saja ketika produksi padi setiap daerah akan berbeda, baik secara kualitas maupun kuantitas.
2) Harga pupuk di pasaran semakin mahal. Kebijakan subsidi pupuk semakin dikurangi oleh pemerintah. Apalagi beberapa pabrik kesulitan mendapatkan bahan baku karena harga bahan baku pun semakin mahal.
3) Petani membutuhkan modal dalam proses produksi padi. Namun, modal yang dibutuhkan oleh petani sulit diakses. Beberapa bank yang mengucurkan kredit pertanian, tidak mempermudah pengucuran kredit pada petani.
4) Harga pestisida semakin mahal. Akibat Revolusi Hijau yang digulirkan di tahun 1960-an, secara alami membuat petani sangat tergantung pada pestisida sebagai pengendalai hama dan penyakit tanaman.

Berbagai dampak ketimpangan kebijakan tersebut semakin diperparah dengan kondisi alam yang saat ini tidak bersahabat. Global warming membuat siklus alam tidak menentu. Apalagi sudah menjadi kebiasaan panen padi di Indonesia yang bertepatan dengan musim hujan. Petani kesulitan mengeringkan hasil panennya sehingga memaksa mereka menjual gabah dalam kondisi basah (tidak kering optimal). Tentu saja harga pun 'tidak sebagus' harga gabah kering. Selain itu, kebiasaan panen secara serempak di berbagai daerah, membuat harga gabah jatuh seketika. Petani kebingungan menghadapi kondisi ini.

Menghadapi kondisi seperti ini, Winarno berpendapat bahwa Pemerintah harus meningkatkan subsidi benih dan pupuk. Petani jangan dipusingkan dengan penyediaan sarana produksi dan pemasaran. Biarlah petani bekerja dengan optimal untuk meningkatkan produksi pertanian. Tapi apakah subsidi tersebut dapat dijalankan?

APBN Tidak Menentu
Ketika berbicara subsidi maka tidak akan terlepas dengan anggaran negara. Seperti yang kita ketahui Rancangan Anggaran Perencanaan dan Belanja Negara terus mengalami perubahan. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia yang mencapai angka US$ 110/barel. Kita maklumi, perubahan RAPBN tersebut tidak dapat dihindari karena negara pun terpengaruh oleh kondisi ekonomi global. Apalagi negeri ini sedang mengalami krisi ekonomi yang berkepanjangan dan sulit ditemukan penyelesaiannya.
Lalu, dengan anggaran minim seperti sekarang, bisakah pemerintah memberikan subsidi pada sektor pertanian? Jangankan memberikan subsidi pada sektor pertanian yang dianggap sektor sekunder, subsidi BBM pun terus dikurangi.

IMF 'Memerintahkan' untuk Mengurangi Subsidi
Kebijakan subsidi tidak akan terlepas dengan 'perintah' IMF untuk terus mengurangi subsidi. 'Perintah' IMF ini merupakan paket dari kebijakan IMF dalam membantu Indonesia dalam mengentaskan krisis ekonomi yang melanda negeri ini dari 1997. Kalau begitu, dapat kita tebak "Kenapa subsidi pertanian terus dikurangi?". Wajar saja kalau subsidi terus dikurangi bahkan dihilangkan karena Pemerintah terus mengekor IMF dalam menetukan kebijakan subsidi.

Jadi, rasanya tidak mungkin subsidi pupuk dan benih padi dapat terealisasi. Kondisi yang ada hanyalah memaksa petani untuk membeli pupuk dengan harga mahal. Apalagi distribusi pupuk dikuasai oleh swasta.

Bisakah Indonesia memiliki Kedaulatan Pangan?
Melihat kondisi seperti ini, penulis pikir tidak mungkin Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Swasembada Pangan yang ditargetkan tahun 2010 tidak mungkin tercapai. Pemerintah sudah salah langkah dalam mengtasi hal ini. Makanya ketika harga pangan dunia terus melonjak, Indonesia kelabakan menghadapinya. Indonesia tidak memiliki kedaulatan pangan yang selama ini didengungkan.

Dua program pertanian (ekstensifikasi dan intensifikasi) yang selama ini direncanakan rasanya sulit untuk ditempuh. Kondisi anggaran yang tidak menentu dan interfensi IMF dalam menentukan kebijakan menjadi ganjalan utama dalam menghadapai krisis pangan yang sedang melanda dunia.




Jumat, 25 April 2008

Harga Beras Dunia Terus Naik!


Memasuki minggu terakhir di bulan Maret 2008 harga beras di pasar global merangsak naik keangka US$ 700/ton, level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Kenaikan harga ini merupakan sebuah pukulan bagi negara-negara konsumen beras seperti Indonesia dan negara kawasan Asia Tenggara lainnya. Kondisi ini ternyata tidaklah reda karena kenaikan terus berlanjut ke level US$ 800/ton di awal bulan April 2008. Sebuah pukulan berunun bagi Asia sebagai konsumen beras.

Menurut direktur IRRI (International Rice Reaserach Institute), Robert Zeigler, pemicu meroketnya harga beras sampai tiga kali lipat jika dibandingkan lima tahun lalu adalah wabah pes dan virus yang menyerang tanaman padi di Vietnam. Negara ini menjadi produsen padi terbesar kelima dan eksportir terbesar ketiga di dunia. Wabah ini dikhawatirkan menyerang negara-negar tetangga seperti China, Thailand, Myanmar dan Kamboja yang merupakan produsen utama beras dunia. Kondisi ini diperparah lagi dengan banjir yang melanda Jawa dan badai di Bangladesh, yang turut mengurangi produksi beras global. Permintan beras yang terus meningkat hingga mencapai 420 juta ton tidak dapat dipenuhi oleh persediaan beras yang hanya 70 juta ton.

Kenaikan harga beras dunia menambah satu lagi masalah yang melanda negeri ini. Setelah naiknya beberapa komoditi pangan di pasaran, harga beras kembali mewarnai kesengsaraan rakayat yang tidak pernah berhenti. Konsumsi beras nasional yang mencapai 37,89 juta ton pada tahun lalu tidak dapat terpenuhi dengan cadangan beras nasional yang hanya mencapai 35,79 juta ton. Karena itu Pemerintah mengimpor beras sekitar 2 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalan negeri.

Ada hal aneh yng disampaikan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dia mengungkapkan bahwa kita tidak perlu khawatir dengan melonjaknya harga beras dunia. Dia meramalkan bahwa iklim Indonesia pada tahun 2008 tidak terlalau ekstrem sehingga tidak berpengaruh besar terhadap produksi beras nasional. Optimisme itu juga didukung oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yasng menyebutkan bahwa terlah terjadi perluasan lahan pertanian padi sehingga terjadi peningkatan produktifitas. Karena perluasan lahan tersebut, pada tahun 2008 ini telah terjadi kenaikan produksi beras sebesar 2 %.1) Pertanyaannya, apakah kita bisa meramal cuaca setahun ke depan? Bukankah efek global warming menjadikan cuaca sulit untuk diprediksi? Lalu, apakah data BPS tersebut dapat dipercaya?

Pada kenyatannya, pengaruh harga beras dunia cukup besar terhadap harga dalam negeri. Meskipun saat ini sedang panen raya di beberapa daerah tetapi kita jangan melupakan ulah para spekulan yang memanfaatkan kesempatan ini. Jangan sampai para pengusaha beras dalam skala besar malah mengekspor berasnya ke luar negeri dan mengurangi pasokan nasional. Untuk itu, Bulog harus bekerja keras mengawasi pola distribusi beras nasional. Dengan distribusi yang baik, diharapkan harga beras nasional tetap stabil walaupun tidak terjadi penurunan harga.

Untuk jangka panjang, pemerintah wajib melakukan perluasan lahan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Kita harus terus waspada terhadap alam yang kurang bersahabat dengan kita. Ternyata ramalam cuaca tidak dapat dijadikan acuan untuk meramal produksi beras di masa depan.

Sumber : 1) Media Indonesia edisis 22 Maret 2008

2) Media Indonesia edisis 5 April 2008


Pemerintah Harus Segera Tuntaskan Masalah Ahmadiyah!

[EDISI 402] Akhirnya Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI (Ahmadiyah) resmi dinyatakan sebagai kelompok sesat. Kesimpulan ini disampaikan oleh Bakorpakem 16 April lalu setelah melakukan pemantauan selama tiga bulan. Ahmadiyah dinilai tidak melaksanakan 12 butir penjelasan yang disampaikan oleh PB JAI pada 14 Januari 2008 secara konsisten dan bertanggung jawab. Bakorpakem berpendapat, Ahmadiyah telah melakukan kegiatan dan penafsiran keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang dianut Indonesia serta menimbulkan keresahan dan pertentangan di masyarakat sehingga mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Bakorpakem merekomendasikan agar warga Ahmadiyah diperintahkan dan diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan UU No 1/PNPS/1965. Apabila perintah dan peringatan keras sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas tidak diindahkan, Bakorpakem merekomendasikan pembubaran organisasi Ahmadiyah dengan segala kegiatan dan ajarannya.

Ketua Bakorpakem, Whisnu Subroto, yang juga Jaksa Agung Muda Intelijen, memastikan rekomendasi Bakorpakem bersifat final. Artinya, Ahmadiyah tidak diberi kesempatan lagi bernegosiasi dan Bakorpakem tidak akan melakukan evaluasi tambahan atas pelaksanaan 12 butir PB JAI.

Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten. Sebanyak 35 anggota tim pemantau bertemu 277 warga JAI. Ternyata, ajaran Ahmadiyah masih menyimpang. Di seluruh cabang, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad saw. Selain itu, penganut Ahmadiyah meyakini bahwa Tadzkirah adalah penafsiran MGA terhadap al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman.


Pokok Masalah

Sejak awal Ahmadiyah memang meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menerima wahyu dari Allah. Dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa (2007) dijelaskan tentang kepercayaan kaum Ahmadi, yaitu, “Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan adalah seorang nabi, yang merupakan seorang nabi pengikut atau nabi ikutan, dengan ketaatannya kepada YM Rasulullah saw. yang akan datang dan mengubah masa kegelapan ini menjadi masa yang terang benderang. Apabila Imam Mahdi itu sudah datang maka diperintahkanlah umat Islam untuk menjumpainya, walaupun harus merangkak di atas gunung salju.” (hlm. 69).

Ditulis dalam buku tokoh Ahmadiyah tersebut, ”Dalam perkembangan sejarah, pada tahun 1879 Mirza Ghulam Ahmad as. menulis buku Braheen Ahmadiyya. Pada saat itu Mirza Ghulam Ahmad as. belum menyampaikan pendakwaan. Namun, ketika menulis kitab itu, ia sebenarnya sudah menerima wahyu. ‘Kamu itu nabi, kamu itu nabi!’ dan diperintahkan mengambil baiat, tetapi masih belum bersedia.” (hlm. 70).

Ahmadiyah memandang orang yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad sebagai orang sesat. Berkata Mirza Ghulam Ahmad, “Barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang Dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian Jahiliah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mawahib al-Rahman).

Oleh sebab itulah, dalam shalat orang Ahmadiyah tidak boleh bermakmum kepada orang Islam lain, karena mereka dipandang ”belum beriman” kepada Mirza Ghulam Ahmad. Tentang masalah shalat ini dijelaskan dalam buku Syarif Ahmad Saitama Lubis, Dari Ahmadiyah untuk Bangsa tersebut, ”Dasar pemikiran mengapa kalangan mereka harus yang menjadi imam, yaitu bagaimana mungkin bermakmum pada orang yang belum percaya kepada Imam Zaman, utusan Allah.” (hlm. 79-80).

Dengan keyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka Ahmadiyah kemudian menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw. sesuai dengan keyakinan mereka. Bagi umat Islam sudah jelas kedudukan kenabian Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Tidak ada lagi nabi setelah itu. Meskipun banyak sekali yang mengaku sebagai nabi, tetap saja, mereka tidak diakui oleh umat Islam, bahkan mereka jelas-jelas sebagai pendusta. Di Tanah Air, NU, misalnya, sebagaimana dinyatakan KH Makruf Amin, sudah mengeluarkan fatwa sesat untuk Ahmadiyah pada tahun 1995, yang mana ia ikut memutuskan waktu itu. Mantan Rais Aam PBNU (Alm.) KH Ahmad Siddiq juga pernah menulis risalah tentang kesesatan Ahmadiyah (www. nu.or.id, 4/1/2008). Dalam keputusan tahun 1937, Majelis Tarjih Muhammadiyah juga mengutip hadis Rasulullah saw., ‘‘Di antara umatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya nabi, padahal aku ini penutup sekalian nabi.” (HR Ibn Mardawaih, dari Tsauban).

Ahmadiyah juga meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci. Dalam 12 poin penjelasannya pada rapat Bakorpakem tiga bulan lalu, Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, membantah Tadzkirah sebagai kitab suci, melainkan catatan pengalaman ruhani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah.

Nyatanya, dari hasil pemantauan di lapangan selama 3 bulan itu, Tadzkirah tetap diakui sebagai kitab suci. Pada lembar pertama Tadzkirah memang tertulis, Tadzkirah Wahyun Muqaddas, yakni wahyu yang suci. Dari hasil pantauan didapati juga bahwa mereka mengatakan tidak akan mengubah atau memperbaiki hal-hal mendasar itu.

Dalam Tadzkirah ada ayat berbunyi, ”Katakanlah (wahai Mirza Ghulam Ahmad) jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu. Mudah-mudahan Tuhanmu melimpahkan rahmatnya kepadamu dan sekiranya kamu kembali pada kedurhakaan niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka Jahanam bagi orang-orang kafir. Kami tidak mengutusmu (wahai Mirza Ghulam Ahmad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Katakanlah beramallah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku juga beramal. Kelak kamu akan mengetahui.”

Umat Islam tentu tak asing dengan redaksi ayat di atas. Ayat tersebut memang ada dalam QS Ali Imran ayat 31, QS al-Anbiya ayat 107, dan QS al-An’am ayat 135. Oleh Mirza Ghulam Ahmad (MGA), ketiga ayat tersebut digabungkan, dipotong sedikit, diotak-atik—seperti memasukkan namanya dalam tanda kurung—kemudian diklaim sebagai wahyu. Ayat gabungan itu ditulisnya dalam kitab Haqieqatul Wahyi halaman 82. Banyak ayat-ayat al-Quran yang diperlakukan seperti ini.

“Wahyu-wahyu” palsu itu lalu dikumpulkan dalam Tadzkirah. Tadzkirah yang lebih tebal daripada al-Quran itu dipenuhi ayat-ayat al-Quran yang dijiplak, diklaim, dan diputarbalikkan. Lihat pula klaimnya, “Al-Quran itu kitab Allah dan kalimah-kalimah yang keluar dari mulutku.” (Istisfa, hlm. 81).


Solusi Tepat

Oleh karena itu, tepat sekali keputusan Bakorpakem yang menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Apalagi keputusan itu dibuat dengan dasar yang lebih kokoh. Ahmadiyah sudah diberi waktu 3 bulan untuk memperbaiki diri. Namun nyatanya, itu tidak dilakukan. Kepala Litbang Depag Prof. Atho Mudzar menilai pemantauan itu sendiri cukup serius. Satu pemantau rata-rata melakukan pengamatan tujuh hari di satu titik. Ada yang sampai menginap di komunitas itu. ”Teknisnya silaturahmi, wawancara dan mengamati kegiatan keseharian mereka. Kita ikut shalat dengan mereka, shalat Jumat bersama, mendengar azan mereka, dan sebagainya. Ditambah dengan pengumpulan data-data,” katanya.

Oleh sebab itu, para tokoh umat harus mendukung keputusan Bakorpakem ini. Jika tidak, diduga ada pihak-pihak yang justru mengadu-domba mereka dalam kasus ini; termasuk asing. Ingat, Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Depag) mengakui bahwa ada 4 negara—di antaranya AS, Inggris, dan Kanada—yang menghimbau agar Ahmadiyah tidak dibubarkan. Mereka mengirim surat kepada Menteri Agama yang ditembuskan kepadanya (Republika, 26/2/2008).

Keputusan ini selaras dengan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, dan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985. Jadi, jika Ahmadiyah tetap menolak kembali ke jalan yang benar (rujû’ ilâ al-haq) dan meninggalkan semua keyakinan, paham dan ajaran Ahmadiyah, maka keputusan yang tepat untuk Ahmadiyah tidak lain: Harus dilarang dan dibubarkan!

Pelarangan dan pembubaran Ahmadiyah tidak ada hubungannya sama sekali dengan kebebasan beragama dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Islam memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memeluk agama apapun. Kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. AllaH SWT berfirman:

لاََ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan dalam urusan agama.(QS. Al-Baqarah [2]: 256)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-kâfirûn [109]: 6)

Semua itu termaktub dengan sangat jelas dalam al-Quran. Inilah makna kebebasan beragama yang benar.

Namun, kebebasan beragama tidak boleh diartikan sebagai kebebasan merusak, menodai dan mengacak-acak agama orang lain. Ahmadiyah telah melakukan itu sehingga harus dihentikan. Jadi, ini bukan masalah kebebasan beragama, tetapi masalah penodaan dan pengacak-acakan agama Islam.


Khatimah

Pemerintah harus cepat mengambil keputusan untuk melarang dan membubarkan Ahmadiyah sesuai dengan rekomendasi Bakorpakem. Jika tidak, masalahnya akan makin panjang, dan dikhawatirkan akan muncul masalah baru, di antaranya munculnya aksi kekerasan yang dipicu oleh emosi umat yang tidak tahan melihat Ahmadiyah bebas bergerak. Kekerasan terhadap Ahmadiyah—yang semestinya tidak perlu terjadi karena akan menyimpangkan pokok permasalahan dan justru akan memicu masalah baru—sesungguhnya dipicu oleh lambatnya Pemerintah dalam mengambil kesimpulan. Pemerintah jangan mengikuti tekanan negara besar yang meminta agar Pemerintah tidak membubarkan Ahmadiyah.

Karena itu, pilihan terbaik buat Ahmadiyah adalah: Pemerintah melarang dan membubarkan organisasi Ahmadiyah, lalu para penganutnya diminta kembali pada Islam (rujû‘ ilâ al-haq). []


KOMENTAR:

Waspadai Labelisasi JI di Indonesia (Republika, 22/4/2008).

Ingat, labelisasi tersebut adalah bagian dari skenario AS dalam isu terorisme di Indonesia