Senin, 25 Juli 2011

Malam Ke-6, Mimpi untuk Meguasai Bisnis di Daerah Sendiri

Jum’at, 11 Nopember 2010

Ini bukan sekedar mimpi, tetapi rencana jangka panjang yang harus diwujudkan. Insya Alloh, jika kami punya rezeki akan kami buat asosiasi pengusaha di daerah kami sendiri. Asosiasi Pengusaha Bandrek. Nama yang simpel namun lugas sehingga orang bisa memahami bentuk organisasi yang kami dirikan.
Asosiasi ini menjadi pemersatu bagi pangusaha di wilayah Bandrek dan sekitarnya dengan tujuan untuk memperkukuh eksistensi para pengusaha putra daerah dalam rangka membangun tanah kelahirannya. Ada banyak bidang yang akan kami garap yaitu agribisnis, properti, fesyen, pendidikan, keuangan dan pariwisata. Semua bidang ini diharapkan terintegrasi dan saling menguatkan antara satu sama lain.
Setiap sektor dikuasai oleh satu atau lebih orang diantara kami sehingga terjadi perputaran uang di wilayah usaha kami. Dengan adanya asosiasi ini diharapkan adanya kemudahan usaha seperti kemudahan untuk mengakses sumber daya modal, tenaga kerja dan bahan baku. Misalnya, Odik salah satu teman kami adalah pengusaha dapros dan makanan khas Sunda maka saya yang akan menyuplai beras sebagai bahan bakunya. Jika dia membutuhkan jasa pembangunan pabrik maka saya yang akan menyediakan segala kebutuhan untuk membangun pabrik mulai dari desain, bahan bangunan, tenaga kerja hingga pemeliharaan.
Kami yakin bahwa sepuluh atau duapuluh tahun ke depan wilayah Bandrek dan sekitarnya akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut. Kemudahan akses menuju kota besar dan sumber pendapatan masyarakat menjadi alasan kenapa Bandrek bisa berkembang menjadi sebuah kota kecil. Jika Rancaekek dan wilayah Bandung Timur lainnya sudah penuh sesak dan tidak nyaman lagi untuk ditinggali _karena sering banjir_ maka penyebaran penduduk akan mengarah ke arah Kabupaten Garut.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Jawa Barat ‘memaksa’ penduduk untuk memilih tempat tinggal yang nyaman, bebas banjir, bebas polusi namun mudah diakses. Untuk itu, kami berusaha menyediakan apa yang diinginkan masyarakat dengan membangun perumahan yang ramah lingkungan, mudah dan juga murah. Kami paham bahwa tipe masyarakat yang berada disini adalah kelas menengah ke bawah maka kami pun menyediakan kebutuhan yang sesuai dengan kemampuan.
Bagaimana dengan areal pesawahan? Supaya bertambahnya jumlah penduduk tidak ‘mengganggu’ areal pertanian yang masih produktif maka kami berinisiatif untuk membangun rumah susun. Rusun-rusun tersebut berada di kawasan yang terintegrasi antara jalan raya, pasar, pusat hiburan dan pusat rekreasi.
Bagi kami, kesejahteraan masyarakat lebih penting daripada keuntungan pribadi karena kami beranggapan bahwa usaha yang berkelanjutan adalah aktifitas usaha yang peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Kita sadar bahwa kita tidak akan ada tanpa dukungan masyarakat. Justru, masyarakat di sekitar lokasi usaha adalah konsumen pertama sekaligus pelindung ketika terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti musibah kebakaran.
Bagi kami, kebahagiaan yang hakiki adalah ketika melihat orang bahagia karena jasa kita.


Pagi ke-5, Isu untuk Ketakutan

Selasa 10 Agustus 2010

Terorisme menjadi isu utama dunia untuk senantiasa menakut-nakuti masyarakat dunia akan bahaya terorisme. Warga dunia sudah terlalu sering mendengar isu ini sehingga ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Saya pikir isu tentang ‘katakutan’ itu menjadi basi ketika terus diulang-ulang. Namun, pengetahuan kita yang kurang justru menambah rasa takut itu.
Ketakutan manusia tidak hanya melulu pada bahaya terorisme. Ketakutan itu datang dari sikap mereka yang berlebihan dalam menyikapi kondisi di sekitarnya. Ketakutan akan kelaparan. Ketakutan akan kemiskinan. Ketakutan akan sikap orang terhadapnya.
Ketakutan-ketakutan itu sebenarnya hanyalah rekaan belaka. Bahkan, hal yang ditakutkan itu ternyata tidak ada dalam dirinya. Kita terlalu dibelenggu oleh opini umum tentang hidup. Ketika hidup itu harus kaya ya semua orang mengejar kekayaan. Setelah kaya, banyak orang yang tidak bisa memanfaatkan kekayaannya. Foya-foya dan hidup konsumtif menjadi kegiatan sehari-hari. Akhirnya, banyak orang kaya yang tidak bahagia. Banyak uang tapi memiliki penyakit kronis yang siap merenggut nyawanya.
Ketakutan manusia akan kelaparan memaksa mereka untuk mencari uang hingga ke pinggiran kota. Mereka meninggalkan kampung halamannya demi ‘sesuap nasi’. Ini memang lucu dan aneh. Mencari sesuap nasi seharusnya pergi ke sawah dan ladang untuk bertani bukan ke pinggiran kota untuk sekedar jadi kuli panggul. Memang rezeki orang siapa yang tahu. Tapi, coba gunakan nalar kita. Jika kita mau mengolah tanah kita maka tidak akan ada istilah kelaparan baginya. Kelaparan hanya ada jika kekeringan melanda dan persediaan pangan di lumbung sudah habis. Tapi, bukankah negeri ini hujan hampir sepanjang tahun?
Tidak ada alasan lagi untuk merasa takut. Kita jangan menciptakan ketakutan kita sendiri. Pergi ke kota untuk jadi kuli padahal masih ada tanah untuk digarap. Ketakutan kita di sini berbeda dengan di sana. Di kota, ketakutan itu jauh lebih besar dibanding di desa karena perbedaan peradaban. Jangan jadikan suasana di sana menjadikan kita menjadi manusia yang tidak produktif dan hanya bergantung pada orang lain.
Ketakutan yang kita hadapi harus menjadikan kita lebih mandiri.

Malam Ke-4, Pendidikan Ketergantungan

6 Agustus 2010

Ketergantungan masyarakat kita akan peran pemerintah terlalu tinggi. Menurut saya. Jika kita perhatikan dari kuli panggul, buruh pabrik hingga guru dan mahasiswa senantiasa menuntut hak mereka _berupa materi_ untuk diberikan. Sepertinya mereka tidak menyadari ‘bentuk negeri’ ini. Saya tidak tahu sudahkan mereka membacara Undang-undang dasar mereka sendiri juga begitu banyak undang-undang yang menyertainya.

Negeri ini bukan negeri komunis, sistem politik yang kita anut adalah sekuler-kapitalisme. Bukan saatnya lagi selalu mengantungkan diri pada negara. Bagi masyarakat modern saat ini kemandirian adalah kunci hidup menjalani kompetisi global. China saja sudah mulai membuka diri bagi kapitalisme global mengapa kita masih terus mempertahankan sikap terjajah _mengemis hingga ke Istana Negara.

Negeri ini begitu kaya, so kenapa kita tidak memanfaatkan kekayaan yang telah kita terima ini. Saya menulis ini karena merasa prihatin dengan sikap guru-guru di madrasah yang menuntut kesetaraan dengan sekolah umum. Mereka bahkan ramai-ramai berdemontrasi ke ibu kota untuk menuntut penyetaraan dalam hal kebijakan. Saya pikir, modal pendidikan di negeri ini bukan uang tapi alam sekitar yang kaya raya. Bukankah sekolah dibentuk untuk mengolah alam ini, so jadikanlah alam ini sebagai laboratorium kehidupan tempat kita belajar.

Jika pemerintah tidak memberi uang bangunan sekolah, ya belajar bisa dilakukan di tengah sawah atau rumah ibadah. Itu saya lakukan. Tempat belajar saya adalah kebun, sawah, rumah ibadah dan tentu saja rumah. Alloh telah memberikan petunjuk begitu gamblang tentang arti penting belajar mengolah potensi alam. Saya pikir pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang bisa mengikuti ritme alam ini bukan pendidikan yang statis dan tidak praktis.

Malam Ke-3

5 Agustus 2010

Terkadang hidup haruslah menggunakan logika. Logikalah yang membawa kita pada keindahan perasaan kita yang dianugerahkan Alloh SWT pada setiap hamba-Nya.

Pada suatu kesempatan saya dan teman-teman kumpul bareng dalam rangka menghadiri acara pernikahan salah satu teman kita. Teman kita itu nikah sama gadis yang sudah siap menjadi istrinya dan ‘meninggalkan’ pacarnya yang lain karena tidak siap diajak untuk menikah. Kami semua salut pada mantan pacarnya yang bisa menerima pernikahan mantan kekasih prianya ini. Bahkan, dia meghadiri pernikahan itu bersama kami.

Lucunya, mantan pacar temanku yang menikah ini ternyata disukai juga oleh temanku yang lain. Ya, simpelnya gadis yang satu ini ‘diperebutkan’ oleh sesama teman saya. Saya sendiri kurang tahu apa daya tarik gadis ini dibandingkan dengan yang lain. Jika dilihat sekilas dia tidak jauh berbeda dengan yang lain.

Saya bisa menyimpulkan kenapa banyak pria yang suka padanya. Kepribadian. Kepribadian seseorang ternyata bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi lawan jenis bahkan sesama jenisnya. Sekali logika juga yang dipakai dalam bercinta. Jika anda menyenangkan hati saya, maka mari menikah jika tidak ya saya cari yang lain atau sekedar jadi pacar saja.

Malam Ke-2

1 Agustus 2010, jam 10 malam

Ada semacam degradasi moral sebagai akibat dari keterpurukan manusia. Baru tadi sore kulihat seorang ayah menampar pipi anaknya yang baru berumur 1 tahun. Air mata mengucur dari balik kelopak matanya.

Secar sepintas, kulihat semua itu hanylah ekspresi kekesalan seorang manusia. Namun, tahukah kamu bahwa tekanan hidup membuat manusia lebih sadis dibandingkan harimau di hutan belantara.

Manusia terkadang seperti serigala yang memangsa domba-domba yang lemah. Mereka lapar akan kekuasaan dan hasrat kenikmatan. Semua itu telah menggelapkan mata hati manusia. Miris.

Sejenak kurenungi bahwa ternyata masih ada manusia tidak beradab seperti zaman Mesir kuno. Manusia layaknya budak belian yang bisa disiksa begitu saja. Ketika orang tua rela menyiksa bahkan membunuh anaknya, bukankah itu hanya ada dizaman jahiliyah? Yang aku tahu selama ini, Abraham Lincoln sudah berusaha keras menghapus perbudakan di tanah Amerika tetapi masih ada perbudakan di depan mataku!

Sekarang aku mulai berpikir dan mengakui bahwa populasi manusia memang harus dibatasi. Bumi ini sudah terlalu sesak sehingga harga makanan pun melambung setinggi-tingginya karena banyak orang yang ingin makan tapi tidak mau menanam padi atau gandum. Sekarang, manusia hanya mencari uang untuk dimakan maka ketika uang tidak ada anak sendiri yang mereka makan. Sadarkah kita bahwa alam ini menyediakan harta yang berlimpah untuk sekedar mengganjal perut. Hei, ini bukan padang pasir. Jika kau mau menanam sebutir padi maka kau akan mendapatkan sebulir padi.

Kembali kepada bagaimana cara berpikir kita, apakah kita masih terbelenggu oleh sikap pemalas kita atau maukah menjadi manusia yang bisa memanfaatkan potensi alam ini dengan maksimal. Aku tidak setuju dengan teori kemiskinan dimana uang sebagai standar penghasilan. Belenggu pemikiran inilah yang membuat hidup kita tidak produktif bahkan cenderung mengabaikan arti hidup itu sendiri.

Jika tidak sapi maka ada kerbau. Jika tidak ada kerbau maka ada domba. Jika tidak ada domba maka ada kambing, kelinci, ayam, kalkun bahkan masih ada burung pipit. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk kelaparan. Justru ketergantungan kita pada manusia telah mengecoh kita untuk menyandarkan hidup ini pada alam.

Tahukah kau kawan suku Mentawai di pedalaman Sumatera? Mereka menyandarkan hidupnya pada alam dan tak pernah ada kata kelaparan. Justru, kelaparan ada di belantara kota Jakarta yang tanahnya sudah ditanami beton dan besi baja. Kelaparan ada di tanah yang tidak produktif. Kelaparan tidak pantas di tengah tanah subur seperti pulau Jawa.

Lalu, manusia macam apakah kita ketika urusan perut merubah keharmonisan rumah tangga? Padahal cinta tidak harus kalah oleh kepentingan perut semata. Justru, dengan cinta tanah ini menjadi subur. Cinta akan tanaman, hewan dan tetangga-tetangga kita. Omong kosong jika kita berteriak tentang kecintaan kita pada tanah air. Sejak kapan kita menjadikan tanah ini sebagai teman hidupmu?

Aku sering beradu pendapat tentang perbaikan nasib petani dan ketersediaan pangan di kampus. Ketika aku kembali ke desa dan memperhatikan ternyata semua itu dikembalikan kepada para petani. Sejauh mana kesungguhan kita menjadikan tanah ini sebagai lahan subur.

Malam ke-1

Dalam satu kesempatan aku pernah bertanya pada malam

Dunia ini begitu bundar lalu kenapa seakan tidak rata

Pada satu pagi kudapati matahari bersembunyi

Dia termangu menatap manusia mengotori bumi

Seakan aku faham bahwa ternyata manusia tidak punya mata

Yang ada hanya kornea, pupil dan bola matanya yang indah

Udara pun enggan memberikan pertolongan ketika mereka butuh pertolongan

Dimana angin yang memberikan kesejukan

Dimana dunia yang dulu indah