Jumat, 30 Desember 2011

Malam ke-13, Efisiensi Produksi Agribisnis

Sabtu, 12 Februari 2011

Ketika harga bahan pangan melambung tinggi lebih dari dua kali lipat dibandingkan dua-tiga tahun lalu, maka pengetatan anggaran belanja rumah tangga harus dilakukan. Pengetatan itu berlaku bagi rumah tangga yang mengandalkan sumber pangannya dari pasar. Lain halnya dengan rumah tangga petani yang mengandalkan sumber pangannya dari hasil panen. Maka, pengetatan anggaran terletak pada belanja rumah tangga yang lain seperti pendidikan dan pakaian.

Melambungnya harga pangan sebagai akibat dari mekanisme pasar yang timpang. Kita tidak bisa selalu menyalahkan alam ketika hasil panen menurun. Namun, permainan pasar telah mengakibatkan harga pangan tidak terkendali. Dimulai dari harga pupuk yang semakin tinggi, sarana irigasi yang rusak, tenaga kerja yang sulit didapat dan harga sewa mesin pembajak yang tinggi.

Semua itu memicu kita untuk semakin berpikir kreatif bagaimana produksi pangan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan masa produksi sebelumnya. Untuk daging, sebaiknya kita gunakan pakan yang bersumber dari alam. Untuk padi, kita gunakan pupuk kandang dari kandang ternak milik kita.

Efisiensi produksi menjadi suatu keniscyaan jika kita tidak ingin kalah bersaing dengan produk impor. Harga daging dari Australia lebih murah karena menggunakan pakan dari alam. Harga beras Thailand menjadi lebih murah karena produksinya melimpah dengan dukungan prasarana produksi yang memadai. Bagaimana dengan kita?

Pertanian Terpadu Sebagai Salah Satu Kunci Efisiensi

Konsep pertanian terpadu memang bukan konsep baru tetapi cukup membantu petani untuk aman dari krisis pangan yang terjadi. Saya punya cita-cita untuk menerapkankonsep ini karena sudah merasakan manfaatnya. Ketika harga cabai naik, maka keluarga saya tidak merasakan dampaknya. Ketika harga daging ayam mahal, justru saya dan keluarga makan daging ayam hampir dua kali dalam seminggu. Ketika harga beras mahal, justru tetangga kami membelinya dari kami karena bisa dibeli dengan kualitas baik dan harga lebih murah dibandingkan harga pasar.

Beberapa strategi yang kami rencanakan adalah:

1.       Memperbaiki lumbung padi kami supaya dapat menampung lebih banyak padi.

2.       Menambah luas kandang domba, ayam, entok, itik dan kelinci  dengan fasilitas semi otomatis untuk persediaan kebutuhan protein hewani keluarga.

3.       Memperluas kolam ikan dan menambah populasinya untuk jangka waktu yang lama.

4.       Menanam rumput untuk keperluan ternak.

5.       Menanam jagung, singkong dan sayuran untuk pangan tambahan dan pakan ternak.

6.       Menanam pohon buah-buahan dan pohon kayu.

7.       Membuat instalasi pengolahan limbah pertanian untuk dijadikan kompos.

8.       Membeli traktor untuk membajak sawah, mengangkut padi, menebar pupuk kandang, menanam benih padi dan memanen padi.

9.       Mengadakan mesin heuleur ukuran kecil, mesin penggilingan untuk membuat tepung beras dan menggiling pakan.

10.   Mengadakan mesin potong rumput.

11.   Mengadakan gergaji mesin untuk menebang kayu yang kami tanam.

12.   Mengadakan mesin bubut untuk mengolah kayu.

Malam Ke-12, Energi Nasional 2020_Basic Story Hollywood Movie

Senin, 13 Desember 2010

 

Proyek pengalihan sumber energi dari fosil menjadi non-fosil di Indonesia selalu gagal. Banyak proyek diajukan oleh para ilmuwan namun hasilnya nihil ketika sudah disodorkan kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ilmuwan menjadi sosok yang merasa tidak dihargai di negerinya sendiri. Mereka belajar banyak untuk menggantikan sumber energi yang semakin mahal menjadi lebih murah dan ramah lingkungan. Tetapi, kepentingan pengusaha dan konglomerasi menjadi alasan kuat para pemegang kebijakan memveto setiap ide.

Jika dibandingkan dengan India maka kita kalah jauh dalam usaha pemanfaatan energi negaranya. Mereka sudah menggunakan nuklir untuk pembangkit tenaga listrik. Para politisi berusaha untuk membuat undang-undang yang bisa menjadi payung hukum pengelolaan energi nasional. Begitupun para ilmuwan mencari cara terbaik untuk menghidupi jutaan rakyat di negaranya.

Ketika ide itu dikemukakan di Indonesia maka banyak saja alasan untuk menolaknya. Pemerintah kita masih menggunakan skema pembuatan anggaran negara berdasarkan harga minyak dunia. Hal ini menunjukan bahwa sumber energi menjadi sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila ada kemauan dari bangsa ini untuk mengganti sumber energinya menjadi lebih murah maka setidaknya menyelesaikan satu atau banyak masalah di negeri ini. Akan ada banyak pihak yang merasakan manfaatnya ketimbang konglomerasi asing yang selalu menekan kepentingan nasional.

Angin, air dan panas bumi menjadi alternatif lain untuk menggantikan sumber energi nasional. Ada banyak negara yang telah mengalihkan seumber energinya dari minyak bumi dan gas ke angin, air dan panas bumi. Ketika ada seseorang yang ingin meniru ide ini, justru disingkirkan oleh banyak kalangan.

Perang energi pun terjadi. Sebetulnya bukan perang idealisem tetapi lebih merupakan perang kepentingan. Setiap orang ingin mengambil keuntungan dari setiap rencana pemerintah. Para pengusaha berlomba mendekati pemangku kebijakan untuk mendapatkan jatah proyek. Mereka tidak segan-segan menodong para ilmuwan dengan ribuan dolar untuk mendukung rencana mereka. Jika para ilmuwan itu tidak mau kerjasama maka kematian yang akan menjemputnya.

Perang energi ini merambat ke masalah politik. Para petinggi militer merasa yakin untuk melakukan kudeta sebagai jalan terkakhir ketika kepentingan para pengusaha yang mereka dukung tidak dapat terwujud. Di negeri ini, kekuatan sipil hanyalah kedok dari kemapanan konsep negara padahal militerlah yang menguasai setiap jengkal tanah dan air di negeri ini.  Militer menjadi ‘satpam’ perusahaan-perusahaan konglomerasi asing yang menguasai sektor energi.

***

Energi Nasional 2020 menjadi novel Indonesia pertama yang dijadikan referensi cerita film Hollywood. Intrik politik menjadi ciri khas dari novel ini. Dari satu bagian ke bagian lain menjadi gambaran nyata sebuah kehidupan yang tidak tidak diketahui publik. Hanya sebagian orang yang mengetahui setiap kejadian didalam novel ini. Publik tidak pernah tahu jutaan dollar telah digelontorkan oleh para konglomerat energi itu untuk membiayai setiap undang-undang yang menjadi refresentasi kepentingan mereka.

Kejadian-kejadian dalam novel ini menggambarkan aksi penyelamatan nasib umat manusia. Walaupun tidak sedikit nyawa yang dipertaruhkan, namun tokoh utamanya mampu membawa si pembaca untuk menerka-nerka walaupun banyak kejadian yang tidak terduga. Tokoh-tokoh dalam novel ini memang sulit ditempatkan menjadi kategori antagonis atau protagonis karena membaca harus memahami keseluruhan cerita dengan seksama. Ada tokoh yang semula dikategorikan protagonis justru di akhir cerita dia adalah antagonis.

Sebagai novel yang bergendre thriller, Energi Nasional 2020 menyuguhkan adegan-adegan yang penuh action. Warner Bross mampu meramu cerita yang imajinatif menjadi sebuah film yang enak ditonton dan juga asyik mengikuti ceritanya. Aksi penyelamatan Laboratorium Penelitian Energi Terbarukan (LPET) dari tabrakan sebuah pesawat jet tempur TNI-AL menjadi aksi yang paling mendebarkan. Selain itu, aksi penyelamatan gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) dari ledakan tabung gas menjadi peristiwa yang tidak terduga. Kecerdasan Guntur_ sebagai tokoh utama_ adalah daya tarik dari novel ini.

Malam Ke-11, Keyakinan Akan Pikiran Bawah Sadar

Jum’at, 2 Desember 2010

 

Pada awalnya aku tidak percaya akan pikiran bawah sadar. Bagiku, itu hanyalah teori psikologi untuk ‘merumitkan’ kehidupan manusia. Tetapi, setelah aku sendiri yang mengalaminya maka aku mulai  memahami bahwa ternyata pikiran bawah sadar itu memang ada.

Sebenarnya, kita sendiri yang meciptakan pikiran itu sejak awal sehingga pikiran itu akan menuntun kita untuk menggapai apa yang kita inginkan. Beberapa tahun lalu, aku pernah menulis sebuah puisi yang bercerita tentang keinginanku untuk memiliki ribuan ekor ternak lengkap dengan tanah yang luas sebagai tempatku bernaung. Sekarang, aku mulai melihat bahwa puisi yang aku tulis itu menjadi semacam pertanda bahwa kehidupanku akan menuju ke arah sana.

Alloh telah memberiku karunia berupa insting untuk senantiasa suka hewan bahkan memberiku pengalaman untuk kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Minatku akan agribisnis, terutama peternakan, menjadi kecenderungan yang tidak aku sadari. Aku begitu bergairah ketika bersama hewan-hewan itu dan ingin segera memakannya. Meskipun lelah, lebih lelah dari kuliah, tetapi aku menemukan ketenangan batin yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Buku-buku, artikel, blog bahkan aku sudah dikenal sebagai kolumnis bidang peternakan di media massa menjadi pertanda bahwa aku harus menekuni bidang ini. Semoga Alloh memberikan rezeki-Nya kepadaku lewat jalan ini.

Pikiranku benar-benar terbuka ketika membaca ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa hewan ternak sebagai rezeki dari Alloh. Ketika banyak orang merasa kebigungan mencari penghidupan_bahkan mencari sampai menyebrang lautan_aku malah asyik sendiri beternak entok, ayam, itik, kelinci dan domba. Janji Alloh pasti benar. Selama ini aku beranggapan bahwa manusia hidup untuk mencari uang padahal inti dari kehidupan adalah ‘sandang, papan dan pangan’. Jika semua itu sudah terpenuhi maka sempurnalah hidup itu. Jika bisa mendapatkan kebutuhan primer itu dengan mudah kenapa harus susah-susah mencari uang. Uang hanyalah alat untuk mendapatkannya. Jika uang kita berlebih, maka kita pun dapat menggunakannya untuk keperluan lain.

Kau tahu kawan, sekarang aku merasa lebih sehat. Sepertinya berat badanku bertambah. Terima kasih ya Alloh. Dia memang Maha Adil. Ketika banyak orang yang bergelut untuk mencari uang, justru kemelut dalam hati masih mereka miliki. Tak ada yang sempurna, memang begitulah kehidupan.

Malam Ke-10, Rumah Idaman

Kamis, 25 Nopember 2010

 

Dua tahun mendatang aku harus sudah punya rumah sebagai tempat tinggal keluargaku. Bagiku, selain tempat tinggal  rumah adalah kantor, resort dan tempatku mencari inspirasi. Semuanya aku lakukan di rumah. Untuk itu, akan kubangun rumah yang nyaman dan bisa menjadi tempat yang bisa memberikan kesejukan pada hati dan pikiran.

Rumah yang kubangun tidaklah harus mahal. Dengan bahan-bahan yang murah, namun bagus, aku bisa mewujudkan impianku untuk memiliki rumah idaman. Rumah ini harus menjadi contoh bagi orang-orang di sekitarku bahwa untuk memiliki rumah bagus tidak harus mahal. Hal terpenting adalah rumah itu mencerminkan kepribadian pemiliknya.

Aku suka rumah tradisonal masyarakat Jepang. Makanya, denah yang aku gambar mengikuti tipe rumah tradisional Jepang. Selain bentuknya yang sederhana, rumah seperti itu bisa memberikan efek menyejukan bagiku. Supaya tidak terlalu terlihat seperti rumah Jepang _disangka tidak cinta budaya lokal_ maka aku campur dengan konsep modern etnik. Tata letak ruangannya mengikuti gaya Jepang sedangkan desain ruangan mengikuti modern dengan tampilan etnik. Tidak harus banyak pernak-pernik, tetapi cukup mewakili kebudayaan Sunda sebagai identitas.

Orang Jepang suka menggunakan gypsum sebagai dinding rumah dan kayu lapis sebagai lantainya. Mereka membangun rumah yang mudah dibongkar pasang namun anti gempa dan tidak mudah terbakar. Rumah anti gempa ini dibangun setengah meter di atas permukaan tanah sehingga terbentuk kolong rumah untuk penyerapan air. Sebisa mungkin tidak menggunakan tembok karena hanya akan menghamburkan biaya dan mengalihkan fungsi tanah untuk penyerapan air.

Malam Ke-9, Ketika Keserakahan Manusia Menjadi Boomerang

Senin, 22 Nopember 2010

 

Keserakahan umat manusia ternyata membawa mereka pada bencana yang melanda. Pernahkah kita membayangkan jika sebuah aturan dibuat untuk mengesahkan keserakahan itu. Kita sering menyaksikan dan merasakan bencana abnjir akibat pembalakan. Meskipun penebangan pohon-pohon di hutan mendapatkan persetujuan pemerintah, ternyata tidak mendapatkan persetujuan dari alam. Hak pengelolaan hutan (HPH) yang diberikan negara para segelintir orang yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan bencana yang tidak bisa ditepis kehadirannya.

Dibalik indahnya sebuah undang-undang negara, terselubung kelicikan sebagian kecil manusia yang mengharapkan keuntungan tanpa memperdulikan keselamatan orang lain. Undang-undang tentang kelistrikan, minyak bumi, gas, barang tambang, pengelolaan hutan dan berbagai undang-undang yang bisa diperjual belikan.

Malam Ke-8, Menyibak Rahasia Alam

Kamis, 18 Nopember 2010

 

Ketika saya membaca buku tentang sejarah Amerika, disitu saya dapati gambaran bahwa ternyata untuk menjadi sebuah negara maju itu senantiasa mengolah alamnya untuk dimanfaatkan. Sekarang kita mellihat betapa Amerika menjadi negara yang berlimpah bahan pangan. Ketika orang Indonesia bingung mencari sumber makanan, justru orang Amerika kebingungan ‘membuang’ kelebihan makanan.

Benar kata ekonom Faisal Basri, hanya bangsa kerdil bangsa yang tidak bisa menghargai para petani. Kita melihat bahwa merekalah yang senantiasa mengolah alam untuk menyediakan kebutuhan pangan masyarakat. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, ternyata kita belum bisa menyibak rahasia di balik indahnya alam Nusantara. Selama ini, kita hanya disibukan untuk meniru bangsa lain dan lupa akan kemampuan diri sendiri.

Kesadaran kita untuk menyibak rahasia alam ini masih sangat kurang. Kita lebih sering memikirkan bagaimana meniru hal sudah ada.  Padahal Alloh SWT sudah memberikan penjelasan bahwa rezeki manusia itu sudah tersedia di alam ini.

Saya punya cita-cita bagaimana menelorkan dan menyebarkan kesadaran untuk menyibak rahasia alam ini pada banyak orang. Tentu saja pendidikan sebagai jalan untuk menyamakan pemikiran setiap orang. Mencari ilmu hingga perguruan tinggi bahkan sampai ke luar negeri ternyata tidak sulit. Banyak orang sudah mendapatkan gelar kesarjanaan dari beragai perguruan tinggi kelas dunia. Namun, betapa sulitnya menerapkan ilmu itu untuk kepentingan masyarakat.

Pendidikan yang berbasis kesadaran untuk mengolah alam ini_saya pikir_ hanya bisa dilakukan melalui pendidikan infromal. Kita tahu jika pendidikan formal di negeri ini tidak bisa “membumikan” ilmu yang telah dipelajari para siswa selama bertahun-tahun. Pendidikan informal itu berupa sanggar alam sebagai tempat untuk mengenalkan alam pada anak-anak. Mereka harus tahu bahwa tanah mereka tempati ini masih memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya, keluarga serta masyarakat secara umum.

Hanyalah manusia pemberani yang bisa menyibak misteri alam ini. Para bajak laut, pencari tambang, petani, pelaut dan banyak lagi profesi yang menuntut keberanian untuk ‘menyatu’ dengan alam sehingga alam pun akan memberikan apa yang mereka inginkan. Pengetahuan anak-anak akan berbagai profesi untuk mengolah alam perlu diperkenalkan sejak dini. Jangan sampai banyak anak-anak yang kebingungan untuk menentukan profesinya semenjak menyelesaikan sekolah bahkan kuliahnya. Itu  saya alami ketika baru lulus Madrasah Aliyah.

Memang, ‘menentang’ alam banyak mengandung resiko. Namun, di balik resiko pasti ada peluang. Bagaikan Yin dan Yang, resiko dan peluang itu saling berhubungan laksana dua sisi mata uang. Justru, anak muda harus berani mengambik resiko jangan hanya megambil ‘jalur aman’. Dengan ilmu pengetahuan, resiko bisa diminimalisir dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya.

Saya percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa menyibak rahasia alam. Membaca, meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan adalah jawaban dari kebuntuan hidup manusia. Jangan sampai ada orang yang kelaparan di negeri yang subur ini karena kebodohannya. Peribahasa mengatakan, seperti ayam yang mati kelaparan di lumbung padi.

Konsep-konsep ini akan saya sarikan dalam bentuk ‘kurikulum’ sekolah berbasis alam. Terus terang, saya tidak percaya lagi pada kurikulum pendidikan saat ini yang seperti kacang lupa akan kulitnya. Terlalu mengekor Barat namun lupa akan jatidiri bangsanya. Kurikulum ini akan lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan. Saya akan lebih menitik beratkan pembelajaran pada bagaimana memanfaatkan alam sekitar hingga bagaimana bersahabat dengan iklim yang semakin tidak menentu.

Kita harus faham bagaimana mendapatkan air dan memanfaatkannya dengan maksimal. Air bisa didapat dari dalam tanah dan dialirkan ke rumah-rumah, sawah, ladang, peternakan bahkan sebagai sumber energi. Kehidupan berawal dari air, maka memanfaatkan air dengan maksimal menjadi suatu keharusan. Air yang akan menyuburkan padi, menggemukan hewan ternak dan menggerakan turbin generator. Jika produksi tani dan ternak kita melimpah maka kita bisa menjualnya bahkan hingga ke luar negeri. Itulah yang dilakukan orang Amerika _ jika kita harus mengikuti cara hidup mereka.

Malam Ke-7, Mendapatkan Modal Usaha Peternakan Entok

Senin, 15 Nopember 2010

 

Usaha apa pun  perlu modal. Modal usaha berupa modal tetap dan modal tidak tetap. Untuk sekarang, saya sudah mendapatkan tanah, kandang untuk ternak entok yang saya rintis. Sekarang saya perlu modal operasional untuk pakan, transportasi dan promosi. Angkanya, memang bisa lebih dari Rp. 10 juta, namun bisa juga kurang yang penting usaha ini bisa berjalan atas dukungan modal.

Rencananya, modal itu akan saya dapatkan dari perusahaan atau organisasi non-pemerintah dengan mengajukan proposal usaha. Mudah-mudahan saja dapat diterima. Mereka harus bisa menggelontorkan dananya untuk peternakan entok karena komoditas ini dapat diandalkan. Pengelolaannya yang lebih sederhana dibandingkan ternak unggas lain menjadi kelebihannya maka diharapkan dapat dilaksanakan oleh banyak orang.

Kunci dari proposal yang akan diajukan adalah _adanya pasar yang jelas dari entok yang telah siap untuk dijual. Saat ini, saya belum menemukan pasar entok yang bisa diakses dengan mudah. Akses pasar yang jelas ini diharapkan bisa meyakinkan pihak pemberi modal untuk mengeluarkan sebagian dananya. Jika menilik pasar Jakarta dan Bandung saya sendiri belum mendapatkan orang yang bersedia menjadi distributor.

Untuk saat ini, saya tidak mau gegabah menanam modal dalam jumlah besar untuk meminimalisasi resiko. Membangun fondasi usaha menjadi prioritas usaha saya saat ini. Memang terkesan lambat namun hal ini dapat menjadi daya tawar kita kepada penanam modal. Jika fondasi usaha kita sudah kokoh maka saya pun tidak akan segan untuk mengajukan modal dalam angka yang besar.

Usaha memang perlu agresifitas. Tetapi, hal demikian berlaku untuk usaha yang sudah berjalan. Untuk usaha yang masih ‘bayi’, pelan tapi pasti akan lebih baik. Mending cari aman saja. Saya percaya bahwa fondasi yang kokoh akan lebih tahan diterjang angin. Kita tidak bisa memprediksi iklim usaha dimasa mendatang, maka dari itu sebisa mungkin modal yang ada dialokasikan untuk membangun fondasi usaha.  Ketersediaan pakan, sumberdaya manusia, kepastian pasar, kandang yang kokoh dan kepastian dukungan lingkungan adalah fondasi usaha ternak entok. Semua itu harus menjadi prioritas utama.

Senin, 25 Juli 2011

Malam Ke-6, Mimpi untuk Meguasai Bisnis di Daerah Sendiri

Jum’at, 11 Nopember 2010

Ini bukan sekedar mimpi, tetapi rencana jangka panjang yang harus diwujudkan. Insya Alloh, jika kami punya rezeki akan kami buat asosiasi pengusaha di daerah kami sendiri. Asosiasi Pengusaha Bandrek. Nama yang simpel namun lugas sehingga orang bisa memahami bentuk organisasi yang kami dirikan.
Asosiasi ini menjadi pemersatu bagi pangusaha di wilayah Bandrek dan sekitarnya dengan tujuan untuk memperkukuh eksistensi para pengusaha putra daerah dalam rangka membangun tanah kelahirannya. Ada banyak bidang yang akan kami garap yaitu agribisnis, properti, fesyen, pendidikan, keuangan dan pariwisata. Semua bidang ini diharapkan terintegrasi dan saling menguatkan antara satu sama lain.
Setiap sektor dikuasai oleh satu atau lebih orang diantara kami sehingga terjadi perputaran uang di wilayah usaha kami. Dengan adanya asosiasi ini diharapkan adanya kemudahan usaha seperti kemudahan untuk mengakses sumber daya modal, tenaga kerja dan bahan baku. Misalnya, Odik salah satu teman kami adalah pengusaha dapros dan makanan khas Sunda maka saya yang akan menyuplai beras sebagai bahan bakunya. Jika dia membutuhkan jasa pembangunan pabrik maka saya yang akan menyediakan segala kebutuhan untuk membangun pabrik mulai dari desain, bahan bangunan, tenaga kerja hingga pemeliharaan.
Kami yakin bahwa sepuluh atau duapuluh tahun ke depan wilayah Bandrek dan sekitarnya akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut. Kemudahan akses menuju kota besar dan sumber pendapatan masyarakat menjadi alasan kenapa Bandrek bisa berkembang menjadi sebuah kota kecil. Jika Rancaekek dan wilayah Bandung Timur lainnya sudah penuh sesak dan tidak nyaman lagi untuk ditinggali _karena sering banjir_ maka penyebaran penduduk akan mengarah ke arah Kabupaten Garut.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Jawa Barat ‘memaksa’ penduduk untuk memilih tempat tinggal yang nyaman, bebas banjir, bebas polusi namun mudah diakses. Untuk itu, kami berusaha menyediakan apa yang diinginkan masyarakat dengan membangun perumahan yang ramah lingkungan, mudah dan juga murah. Kami paham bahwa tipe masyarakat yang berada disini adalah kelas menengah ke bawah maka kami pun menyediakan kebutuhan yang sesuai dengan kemampuan.
Bagaimana dengan areal pesawahan? Supaya bertambahnya jumlah penduduk tidak ‘mengganggu’ areal pertanian yang masih produktif maka kami berinisiatif untuk membangun rumah susun. Rusun-rusun tersebut berada di kawasan yang terintegrasi antara jalan raya, pasar, pusat hiburan dan pusat rekreasi.
Bagi kami, kesejahteraan masyarakat lebih penting daripada keuntungan pribadi karena kami beranggapan bahwa usaha yang berkelanjutan adalah aktifitas usaha yang peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Kita sadar bahwa kita tidak akan ada tanpa dukungan masyarakat. Justru, masyarakat di sekitar lokasi usaha adalah konsumen pertama sekaligus pelindung ketika terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti musibah kebakaran.
Bagi kami, kebahagiaan yang hakiki adalah ketika melihat orang bahagia karena jasa kita.


Pagi ke-5, Isu untuk Ketakutan

Selasa 10 Agustus 2010

Terorisme menjadi isu utama dunia untuk senantiasa menakut-nakuti masyarakat dunia akan bahaya terorisme. Warga dunia sudah terlalu sering mendengar isu ini sehingga ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Saya pikir isu tentang ‘katakutan’ itu menjadi basi ketika terus diulang-ulang. Namun, pengetahuan kita yang kurang justru menambah rasa takut itu.
Ketakutan manusia tidak hanya melulu pada bahaya terorisme. Ketakutan itu datang dari sikap mereka yang berlebihan dalam menyikapi kondisi di sekitarnya. Ketakutan akan kelaparan. Ketakutan akan kemiskinan. Ketakutan akan sikap orang terhadapnya.
Ketakutan-ketakutan itu sebenarnya hanyalah rekaan belaka. Bahkan, hal yang ditakutkan itu ternyata tidak ada dalam dirinya. Kita terlalu dibelenggu oleh opini umum tentang hidup. Ketika hidup itu harus kaya ya semua orang mengejar kekayaan. Setelah kaya, banyak orang yang tidak bisa memanfaatkan kekayaannya. Foya-foya dan hidup konsumtif menjadi kegiatan sehari-hari. Akhirnya, banyak orang kaya yang tidak bahagia. Banyak uang tapi memiliki penyakit kronis yang siap merenggut nyawanya.
Ketakutan manusia akan kelaparan memaksa mereka untuk mencari uang hingga ke pinggiran kota. Mereka meninggalkan kampung halamannya demi ‘sesuap nasi’. Ini memang lucu dan aneh. Mencari sesuap nasi seharusnya pergi ke sawah dan ladang untuk bertani bukan ke pinggiran kota untuk sekedar jadi kuli panggul. Memang rezeki orang siapa yang tahu. Tapi, coba gunakan nalar kita. Jika kita mau mengolah tanah kita maka tidak akan ada istilah kelaparan baginya. Kelaparan hanya ada jika kekeringan melanda dan persediaan pangan di lumbung sudah habis. Tapi, bukankah negeri ini hujan hampir sepanjang tahun?
Tidak ada alasan lagi untuk merasa takut. Kita jangan menciptakan ketakutan kita sendiri. Pergi ke kota untuk jadi kuli padahal masih ada tanah untuk digarap. Ketakutan kita di sini berbeda dengan di sana. Di kota, ketakutan itu jauh lebih besar dibanding di desa karena perbedaan peradaban. Jangan jadikan suasana di sana menjadikan kita menjadi manusia yang tidak produktif dan hanya bergantung pada orang lain.
Ketakutan yang kita hadapi harus menjadikan kita lebih mandiri.

Malam Ke-4, Pendidikan Ketergantungan

6 Agustus 2010

Ketergantungan masyarakat kita akan peran pemerintah terlalu tinggi. Menurut saya. Jika kita perhatikan dari kuli panggul, buruh pabrik hingga guru dan mahasiswa senantiasa menuntut hak mereka _berupa materi_ untuk diberikan. Sepertinya mereka tidak menyadari ‘bentuk negeri’ ini. Saya tidak tahu sudahkan mereka membacara Undang-undang dasar mereka sendiri juga begitu banyak undang-undang yang menyertainya.

Negeri ini bukan negeri komunis, sistem politik yang kita anut adalah sekuler-kapitalisme. Bukan saatnya lagi selalu mengantungkan diri pada negara. Bagi masyarakat modern saat ini kemandirian adalah kunci hidup menjalani kompetisi global. China saja sudah mulai membuka diri bagi kapitalisme global mengapa kita masih terus mempertahankan sikap terjajah _mengemis hingga ke Istana Negara.

Negeri ini begitu kaya, so kenapa kita tidak memanfaatkan kekayaan yang telah kita terima ini. Saya menulis ini karena merasa prihatin dengan sikap guru-guru di madrasah yang menuntut kesetaraan dengan sekolah umum. Mereka bahkan ramai-ramai berdemontrasi ke ibu kota untuk menuntut penyetaraan dalam hal kebijakan. Saya pikir, modal pendidikan di negeri ini bukan uang tapi alam sekitar yang kaya raya. Bukankah sekolah dibentuk untuk mengolah alam ini, so jadikanlah alam ini sebagai laboratorium kehidupan tempat kita belajar.

Jika pemerintah tidak memberi uang bangunan sekolah, ya belajar bisa dilakukan di tengah sawah atau rumah ibadah. Itu saya lakukan. Tempat belajar saya adalah kebun, sawah, rumah ibadah dan tentu saja rumah. Alloh telah memberikan petunjuk begitu gamblang tentang arti penting belajar mengolah potensi alam. Saya pikir pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang bisa mengikuti ritme alam ini bukan pendidikan yang statis dan tidak praktis.

Malam Ke-3

5 Agustus 2010

Terkadang hidup haruslah menggunakan logika. Logikalah yang membawa kita pada keindahan perasaan kita yang dianugerahkan Alloh SWT pada setiap hamba-Nya.

Pada suatu kesempatan saya dan teman-teman kumpul bareng dalam rangka menghadiri acara pernikahan salah satu teman kita. Teman kita itu nikah sama gadis yang sudah siap menjadi istrinya dan ‘meninggalkan’ pacarnya yang lain karena tidak siap diajak untuk menikah. Kami semua salut pada mantan pacarnya yang bisa menerima pernikahan mantan kekasih prianya ini. Bahkan, dia meghadiri pernikahan itu bersama kami.

Lucunya, mantan pacar temanku yang menikah ini ternyata disukai juga oleh temanku yang lain. Ya, simpelnya gadis yang satu ini ‘diperebutkan’ oleh sesama teman saya. Saya sendiri kurang tahu apa daya tarik gadis ini dibandingkan dengan yang lain. Jika dilihat sekilas dia tidak jauh berbeda dengan yang lain.

Saya bisa menyimpulkan kenapa banyak pria yang suka padanya. Kepribadian. Kepribadian seseorang ternyata bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi lawan jenis bahkan sesama jenisnya. Sekali logika juga yang dipakai dalam bercinta. Jika anda menyenangkan hati saya, maka mari menikah jika tidak ya saya cari yang lain atau sekedar jadi pacar saja.

Malam Ke-2

1 Agustus 2010, jam 10 malam

Ada semacam degradasi moral sebagai akibat dari keterpurukan manusia. Baru tadi sore kulihat seorang ayah menampar pipi anaknya yang baru berumur 1 tahun. Air mata mengucur dari balik kelopak matanya.

Secar sepintas, kulihat semua itu hanylah ekspresi kekesalan seorang manusia. Namun, tahukah kamu bahwa tekanan hidup membuat manusia lebih sadis dibandingkan harimau di hutan belantara.

Manusia terkadang seperti serigala yang memangsa domba-domba yang lemah. Mereka lapar akan kekuasaan dan hasrat kenikmatan. Semua itu telah menggelapkan mata hati manusia. Miris.

Sejenak kurenungi bahwa ternyata masih ada manusia tidak beradab seperti zaman Mesir kuno. Manusia layaknya budak belian yang bisa disiksa begitu saja. Ketika orang tua rela menyiksa bahkan membunuh anaknya, bukankah itu hanya ada dizaman jahiliyah? Yang aku tahu selama ini, Abraham Lincoln sudah berusaha keras menghapus perbudakan di tanah Amerika tetapi masih ada perbudakan di depan mataku!

Sekarang aku mulai berpikir dan mengakui bahwa populasi manusia memang harus dibatasi. Bumi ini sudah terlalu sesak sehingga harga makanan pun melambung setinggi-tingginya karena banyak orang yang ingin makan tapi tidak mau menanam padi atau gandum. Sekarang, manusia hanya mencari uang untuk dimakan maka ketika uang tidak ada anak sendiri yang mereka makan. Sadarkah kita bahwa alam ini menyediakan harta yang berlimpah untuk sekedar mengganjal perut. Hei, ini bukan padang pasir. Jika kau mau menanam sebutir padi maka kau akan mendapatkan sebulir padi.

Kembali kepada bagaimana cara berpikir kita, apakah kita masih terbelenggu oleh sikap pemalas kita atau maukah menjadi manusia yang bisa memanfaatkan potensi alam ini dengan maksimal. Aku tidak setuju dengan teori kemiskinan dimana uang sebagai standar penghasilan. Belenggu pemikiran inilah yang membuat hidup kita tidak produktif bahkan cenderung mengabaikan arti hidup itu sendiri.

Jika tidak sapi maka ada kerbau. Jika tidak ada kerbau maka ada domba. Jika tidak ada domba maka ada kambing, kelinci, ayam, kalkun bahkan masih ada burung pipit. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk kelaparan. Justru ketergantungan kita pada manusia telah mengecoh kita untuk menyandarkan hidup ini pada alam.

Tahukah kau kawan suku Mentawai di pedalaman Sumatera? Mereka menyandarkan hidupnya pada alam dan tak pernah ada kata kelaparan. Justru, kelaparan ada di belantara kota Jakarta yang tanahnya sudah ditanami beton dan besi baja. Kelaparan ada di tanah yang tidak produktif. Kelaparan tidak pantas di tengah tanah subur seperti pulau Jawa.

Lalu, manusia macam apakah kita ketika urusan perut merubah keharmonisan rumah tangga? Padahal cinta tidak harus kalah oleh kepentingan perut semata. Justru, dengan cinta tanah ini menjadi subur. Cinta akan tanaman, hewan dan tetangga-tetangga kita. Omong kosong jika kita berteriak tentang kecintaan kita pada tanah air. Sejak kapan kita menjadikan tanah ini sebagai teman hidupmu?

Aku sering beradu pendapat tentang perbaikan nasib petani dan ketersediaan pangan di kampus. Ketika aku kembali ke desa dan memperhatikan ternyata semua itu dikembalikan kepada para petani. Sejauh mana kesungguhan kita menjadikan tanah ini sebagai lahan subur.