Minggu, 13 September 2009

Puasa Bukan Sekedar Ritual

Spirit berbeda yang dirasakan oleh orang yang berpuasa menjadi semacam 'charger' iman kita. Percayalah, tidak semua orang dapat merasakannya.
Dari dulu, ketika aku faham arti penting puasa orang beranggapan bahwa puasa adalah ritual tahunan yang wajib dilaksanakan. Ritual itu seperti Inca, Maya, Quraisy, Zoroaster, Hindu, Budha, Kristen atau paganisme ketika ada kepercayaan pada Yang Maha Kuasa.
Katanya, ada desa di India yang mewajibkan pada gadis untuk telanjang dan membajak sawahnya. Mereka berharap akan mendapatkan berkah dari langit.
Ritual memang aneh. Ada banyak ritual di bumi ini. Kepercayaannya pada Yang Maha Kuasa membawa manusia pada keanehan, tidak logis, imateril.

Jika puasa 'tidak logis'. Menahan lapar, nafsu sexual, dahaga. Bukankah itu kebutuhan dasar manusia? Puasa menyiksa diri?
Puasa adalah ritual pengorbanan. Mengapa kita harus berkorban? Tak adakah ritual yang lebih 'mengasyikan' seperti ritual pesta dansa Romawi Kuno? Atau ritual nyanyian gereja? Tanyakan itu semua pada Yang Maha Kuasa?
Alloh Pencipta Alam Semesta.

Minggu, 19 Juli 2009

Spekulasi Bom Mega Kuningan


Bom kembali mengguncang negeri ini setelah sekian lama opininya tidak terdengar dimedia massa. Sekitar pukul 07.45 WIB sebuah bom meledak di Hotel JW. Mariot dan sekitar dua menit kemudian bom kembali meledak di Hotel Ritzt Carlton. Dua bom yang meledak hampir bersamaan menjadi indikasi bahwa ada keterkaitan diantara dua ledakan yang telah terjadi.
Berbagai spekulasi muncul sehingga terjadi kesimpangsiuran informasi mengenai motif adanya ledakan ini. Setidaknya ada beberapa spekulasi dimana itupun belum tentu kebenarannya.

Pertama, ledakan yang terjadi diduga dalam rangka mengacaukan pemilu yang ternyata dalam kondisi relatif aman. Pemilu kali ini tidak seperti yang terjadi di Iran dimana telah terjadi kerusuhan massa atas ketidakpuasan dari pihak yang kalah dalam pemilihan. Ada pihak yang tidak menginginkan pemilu di Indonesia berjalan aman. Pihak inilah yang senantiasa merongrong keutuhan bangsa sehingga akan dengan mudah terprovokasi dan tersudutkan di dunia internasional.

Kedua, spekulasi muncul dari pihak Pemerintah Australia yang menuduh Jamaah Islamiyah sebagai dalang dan pelaku pengeboman di Mega Kuningan beberapa hari lalu. Kejadian ini telah diprediksi oleh pihak intelejen namun tidak ada kekuatan untuk mencegahnya. Kelompok Islam yang senantiasa menggunakan jalan kekerasan seperti ini ingin menunjukan eksistensi diri di tengah kezaliman dunia.
Alasan gerakan Islam ini menjadi legitimasi Barat untuk senantiasa menekan Islam dimanapun berada jika tidak bisa diajak ‘kerjasama’. Isu ‘perang melawan teror’ masih menjadi strategi ‘basi’ yang dijalankan Barat setelah kepemimpinan George W. Bush sebagai presiden Amerika Serikat.
Pelaku pengeboman dikedua tempat tersebut bisa saja berasal dari pihak kelompok Islam itu sendiri atau memang orang suruhan pihak intelejen asing. Juga, bisa jadi pelakunya adalah orang-orang ikhlas yang ingin memperjuangkan Islam tetapi dimanfaatkan oleh pihak intelejen untuk membentuk opini negatif tentang Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Banyak kemungkinan terjadi di tengah kesimpangsiuran opini yang terekam.
Ketiga, pelaku adalah pihak yang berkepentingan dengan bisnis emas di Freeport. Akhir-kahir ini kondisi keamanan di Freeport dalam kondisi kritis sehingga mengancam eksistensi perusahaan Amerika itu di Indonesia. Media massa senantiasa menangkat isu sehingga dikhawatirkan mengganggu proses produksi serta investasi di salah satu tambang emas terbesar di dunia itu.

Rabu, 24 Juni 2009

Manifseto Hizbut Tahrir


Pada hari sabtu (20/6) lalu telah digelar acara Manifesto Hizbut Tahrir: Jalan Baru untuk Indonesia dimana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyeru umat Islam Indonesia untuk bersegera menegakan syariah Islam dalam bingkaian Daulah Khilafah Indonesia. Hadir sebagai pembicara Ust. Farid Wajdi S.Ip (DPP HTI), Ust. Taufik Abdul Karim (DPD I HTI Jawa Barat) dan Ust. Dr. Arim Nasim, SE., M.Si. Ak beserta sebagai pembanding diantaranya Herman Y. Ibrahim (Pengamat Politik), Achueviarta, SE., M.Si (Pengamat Ekonomi) dan Ade Makmur K, Drs., M.Phil (Pengamat Sosial). Acara tersebut salah satu rangkaian acara yang diselenggarakan oleh HTI untuk menyeru Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menjadikan syariah Islam sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Pandangan Hizbut Tahrir dituangkan dalam sebau buku yang saat itu dibahas diaman terdapat rangkaian konsep kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh rakyat Indonesia dengan umat Islam sebagai mayoritas. Sudah saatnya bangsa Indonesia menaggalkan sekulerisme sebagai akidah yang selama ini telah membwa umat ini pada jurang kehancuran. Berbagai krisis yang terjadi hanya akan selesai jika Islam dijadikan solusi. Peserta yang memadati aula PSBJ Fasa Unpad Jatinangor mendengarkan pemaparan dari pembicara dan tanggapan dari para panelis. Pemaparan seputar garis besar syariat Islam di bidang sosial, politik dan ekonomi. Pembahasan sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat sebagaimana Rosululloh memberikan gambaran Islam kepada para sahabatnya.

Kamis, 11 Juni 2009

Mari Dakwah Politis!

Ada semacam anggapan umum bagi para pengemban dakwah di tengah masyarakat bahwa harus ‘hati-hati’ ketika menyampaikan sesuatu pada objek dakwahnya. Anggapan seperti ini membuat mereka senantiasa menyampaikan hal-hal yang ‘tidak sensitif’ ketika berbicara dalam majelis-majelis ta’lim. Sejak dulu, menjadi suatu hal yang tabu jika seorang da’i berbicara politik di masjid-masjid karena itu merupakan hal sensitif dan akan mengundang banyak kontroversi. Namun, apakah benar selalu seperti itu?
Sudah hampir empat tahun saya dan teman-teman menjambangi wilayah pedesaan di sekitar Jatinangor, Kabupaten Sumedang untuk sekedar bersilaturim atau mengisi pengajian di masjid-masjid. Isi dari pembicaraan kami ya tidak jauh dari isu politik yang ada dan dibandingkan dengan pandangan Islam terhadap realita yang ada. Sungguh sesuatu yang luar biasa dan diluar dugaan, mayoritas dari mereka mengerti dengan apa yang kami maksud. Bahkan mereka begitu bersemangat ketika berdiskusi dengan kami karena jarang sekali ‘model pengajian politik’ seperti ini.
Ketika menyaksikan kondisi seperti ini, maka saya menyimpulkan bahwa ‘dakwah politik’ itu memang bisa diterima di masyarakat _walaupun ada juga yang kontra_. Stigma negatif tentang ‘bahaya’ dakwah politik ternyata tidak terbukti. Ketakutan yang ada benar-benar tidak terbukti seperti takut dicemooh, tidak ditanggapi bahkan diusir dari kampung mereka _benar-benar tidak terbukti!
Maka dari itu, saya mengajak kepada para aktifis dakwah untuk menyampaikan Islam secara gamblang kepada masyarakat. Kita jangan suka menyembunyikan kebenaran ketika saudara kita membutuhkan sebuah pencerahan. Dakwah yang kita lakukan harus inovatif tidak hanya berbicara pada tataran ibadah ritual dan masalah mengelola hati. Masyarakat saat ini membutuhkan informasi yang jelas terhadap kondisi politik yang terjadi dan bagaimana Islam menyikapinya.
Bila kita senantiasa ragu untuk berbicara politik di tengah opini dakwah kita, maka itu sama saja mengajak ummat untuk tidak peduli terhadap realitas yang ada. Secara tidak langsung masyarakat menjadi sekuler dimana masih melihat politk dan Islam adalah hal yang berbeda dan tidak mungkin ‘nyambung’. Padahal Islam adalah ideologi yang agung dimana masalah politik adalah bagian yang tidak terpisahkan.
Pada saat saya berdiskusi dengan Bapak-bapak di Sindanglaya, Desa Sindangsari ternyata mereka tahu lebih banyak dari saya dan mereka pun berani mengeluarkan ‘unek-unek’- nya. Bahkan mereka bisa menilai bagaimana dzolimnya penguasa sekarang ketika tidak menjadikan syariat Islam sebagai aturan tata negara di negeri ini dan diberbagai belahan penjuru dunia lainnya.
Menurut saya, hilangkan stigma antara ‘orang awan’ dan ‘orang alim’ karena ternyata mereka pun faham dengan bahasa politik yang ‘ngejelimet’. Mereka faham apa itu demokrasi, Kapitalisme, sosialisme dan bahasa politik lainnya. Ya, wajar karena intinya sama yakni kemunafikan, kedzoliman dan kekufuran.

Kamis, 04 Juni 2009

Peternak Rakyat Masih Terpuruk

Mencermati Terbentuknya Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan


Sejak lama insan peternakan di Indonesia mengalami kondisi yang tidak pasti dalam menjalankan usahanya. Fakta membuktikan bahwa ternyata peternak lokal kalah bersaing dengan produk impor atau investor asing yang memiliki peternakan di Indonesia. Ketatnya persaingan terjadi akibat adanya globalisasi dan liberalisasi perdagangan yang sulit untuk dibendung. Maka dari itu, perlu adanya aturan yang adil untuk melindungi peternak lokal agar tidak mengalami keterpurukan seperti yang saat ini terjadi.
Untuk menjawab problem tersebut, maka sejak Selasa (12/5) lalu, DPR telah mensahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi Undang-undang. Undang-undang ini merupakan revisi UU No. 6/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Isi dari UU ini berbicara tentang usaha perlindungan sumberdaya lokal, pengaturan distribusi peternakan serta kesehatan hewan.
Namun, ternyata ada beberapa hal yang masih menjadi ganjalan banyak pihak megenai isi UU tersebut terutama mengenai upaya perlindungan peternak lokal dari ‘serangan’ modal asing yang sulit untuk dibendung. Berdasarkan Bab Penjelasan, lahirnya UU ini dimotori oleh General Agreement on Trade and Tariffs (GATT) 1994 sebagai konsekuensi Indonesia masuk ke dalam ‘kubangan lumpur’ perdagangan bebas. Maka, wajar jika ‘ruh’ dari UU ini cenderung memberikan ruang yang lebih leluasa kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indoensia.
Lalu, bagaimana nasib peternak lokal? Undng-undang ini tidak secara tegas dan jelas memberikan tameng dalam rangka melindungi peternak lokal. Malahan, memberikan ruang yang lebih leluasa kepada para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sebagaimana tertera pada pasal 31 ayat (2). Disana dijelaskan bahwa Perorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerjasama dengan pihak asing sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan peraturan perundangan lainnya yang terkait. Jika hal ini terjadi maka sudah diprediksi peternak lokal mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya karena kalah dalam bidang modal.
Kita jangan aneh jika nanti akan ada banyak peternak dari luar negeri yang mengembalakan ternaknya di sekitar rumah kita karena UU ini memperbolehkannya. Kita pun jangan aneh jika nanti akan ada banyak ternak lokal seperti domba Garut yang dibawa ke luar negeri karena UU ini memperbolehkannya. Sekarang saja sudah banyak perusahaan yang mendominasi berbagai komoditas ternak dimana peternak kecil mengalami kesulitan untuk mengimbanginya.
Seharusnya UU yang dibentuk adalah bentuk proteksi demi peternak lokal berupa aturan penanaman modal yang ketat serta aturan regulasi dan distribusi hasil ternak yang ketat. Apabila pembentukan UU ini dikonsentrasikan ke arah sana maka akan terbentuk sistem distribusi peternakan yang terintegrasi dengan baik. Jika distribusi diatur dengan baik, diharapkan tidak terjadi impor besar-besaran yang justru merugikan peternak rakyat seperti kasus susu impor dari Australia dan New Zeland baru-baru ini. dalam kasus ini, peternak rakyat mengalami kesulitan penjualan produknya karena pihak perusahaan mengurangi jatah susu lokal dan digantikan dengan susu impor yang jauh lebih murah.
Seharusnya, ada banyak pasal yang mengatur pola penyebaran lokasi peternakan supaya tidak terkonsentrasi pada satu tempat dan satu pihak saja. Adanya UU ini justru semakin mengokohkan kartel-kartel peternakan yang sudah ada dan memaksa peternak kecil mengikuti sistem yang sudah ada. Jadi, UU ini bukan mengubah sistem yang ada _yang jelas merugikan_ tetapi menguatkan jaringannya. Misalnya, pola kemitraan antara perusahaan dan peternak rakyat yang membuat pola perdangangan ternak menjadi oligopsoni artinya harga komoditi ditentukan oleh segelintir orang.
Selain itu, ada hal penting yang dilupakan dalam UU ini yakni membangun motifasi masyarakat untuk beternak. Pada Bab Pengembangan Sumberdaya Manusia hanya dituliskan berbagai program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan dimana pada faktanya hal tersebut kurang efektif dan merata. Pasal tersebut hanya menyoroti individu peternak yang sudah berkiprah di bidangnya saja tanpa memberikan imbauan positif bagi masyarakat yang tidak menekuni usaha peternakan. Sebaiknya, ada pasal yang mengharuskan Pemerintah dan pihak terkait memberikan pendidikan publik untuk membuka wawasan tentang dunia usaha ternak. Praktisnya, harus ada iklan atau input pengetahuan yang mengajak setiap orang untuk menekuni usaha peternakan. Imbauan ini akan berimbas pada cara pandang seseorang tentang peternakan sehingga tidak terkesan ‘kurang menjanjikan’. Opini ini akan menggiring pola ekonomi negeri ini yang tadinya berbasis industri beralih menjadi berbasis pertanian _terutama peternakan_.
Hal terpenting untuk membangun dunia peternakan di negeri ini adalah pembangunan sumber daya manusia bukan sekedar pembangunan infrastruktur semata. Geliat ekonomi peternakan rakyat yang diharapkan banyak pihak hanya akan terjadi jika ada motifasi masyarakat untuk meningkatkan produksi ternaknya. Sudah seharusnya, peraturan yang ada menitikberatkan pada pembangunan motifasi masyarakat bukan malah ‘membunuhnya’. Kita pun tidak ingin sentra-sentra peternakan di negeri ini (seperti Pangalengan, Lembang, Boyolali dll.) hilang karena para generasi mudanya enggan untuk meneruskan usaha orangtuanya!

Minggu, 17 Mei 2009

Tolak Perdagangan Bebas!


Peran Swasta dalam Perekonomian Islam Dibandingkan dengan Perekonomian Kapitalisme

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.(QS. Al-Baqoroh: 205)

Dalam perekonomian Kapitalisme yang sedang berjalan sekarang, peran swasta menjadi sangat signifikan terutama pihak swasta yang memiliki modal besar. Peran swasta ini semakin jelas terlihat ketika terjadi berbagai bentuk perjanjian kerjasama perdagangan regional, multilateral maupun internasional. Dalam hal ini, negara hanya sebagai fasilitator untuk memuluskan jalan pihak swasta dalam meraup keuntungan yang ingin diperoleh. Kondisi ini semakin mengkerdilkan peran negara sebagai regulator perekonomian sehingga mengalami kesulitan untuk menentukan arah perekonomian yang berpihak pada rakyat.
Perdagangan bebas yang menjadi senjata perekonomian kapitalisme adalah contoh nyata betapa peran swasta lebih banyak dibandingkan peran negara yang mengatur perekonomian nasional. Peran swasta semakin terlihat ketika Pemerintah menandatangani perjanjian kerjasama perdagangan bebas antara ASEAN dengan Australia dan New Zealand (AAZ-FTA) pada 2 Februari lalu. Ini bisa menjadi contoh nyata bahwa ternyata Pemerintah lebih berpihak pada swasta daripada peternak rakyat yang sedang mangalami keterpurukan. Akibat dari perjanjian ini, pihak Industri Pengolahan Susu (IPS) mengurangi kuota susu lokal dan menambah susu impor sebagai bahan baku produknya. Para IPS lebih memilih susu dari Australia yang lebih murah apalagi produk impor dari Austrlia berupa susu dan daging sapi akan diturunkan biaya tarifnya hingga 0 %. Di Lembang dan Singosari, susu dari peternak nyaris tak terjual karena pihak IPS tidak mau menampung semua susu yang mereka miliki (Pikiran Rakyat, 2/5 dan Kompas 30/4).

Pragmatisme sebagai Azas Berfikir Ekonomi Kapitalisme
Peran kuat swasta ini lahir berdasarkan azas Kapitalisme itu sendiri dimana para Kapitalis yang bermodal besar menguasai segala aspek kehidupan. Azas yang mendasarinya adalah pragamatisme sehingga setiap kebijakan Pemerintah senantiasa berpihak pada pihak yang mempunyai kepentingan. Pragmatisme ekonomi ini lahir dari cara berpikir yang sederhana dimana ekonomi Kapitalisme tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Sejak kecil kita dicekoki oleh dasar-dasar faham Kapitalisme ini, dimana ada azas ‘kebutuhan manusia tidak terhingga’ sehingga kerakusan manusia menjadi tidak terkendali dan sangat merusak. Padahal dalam Islam, ada pembedaan antara kebutuhan dan keinginan. Seorang pengusaha tidak akan berprilaku ‘buas’ dan ‘menyembelih’ rakyat karena mereka faham bahwa ada rakyat yang mereka lindungi. Pemerintah pun senantiasa mendahulukan alternatif yang lebih aman untuk melindungi rakyatnya karena semua ini berkaitan dengan kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi diantaranya sandang, papan, pangan, pendidikan dan kesehatan.
‘Keinginan manusia yang tidak terbatas ini’ membuat manusia sangat buas bahkan mereka bersikap egois dan mementingkan diri pribadi. Dalam Islam, menjalankan syariah menjadi azas dalam berekonomi _baik swasta maupun negara_ sehingga senantiasa berpihak pada rakyat karena syariat Islam sendiri mengakumulasi semua kepentingan umat. Kesadaran akan syariat Islam ini sudah menjadi tulang punggung perekonomian Islam sehingga tidak destruktif justru bersifat membangun.
Selain itu, sistem ekonomi Kapitalisme senantiasa menjadikan kehendak pasar sebagai pijakan perdagangannya. Azas ini sudah kita pelajari sejak SLTP dulu. Dari cara berfikir ini lahir pola fikir sistem ekonomi pasar sehingga pola perdagangan tidak bisa dicegah oleh Pemerintah sekalipun. Pemerintah hanya bertindak sebagai pembuat aturan yang tentu saja berpihak pada para Kapitalis.

Perdagangan Bebas sebagai Bentuk Peran Swasta yang Terlalu Menonjol
Tulisan ini tidak akan menjelaskan peran pihak swasta dalam perekonomian secara gamblang. Namun, ada hal mendasar yang mengakibatkan begitu kuatnya peran swasta dalam ekonomi Kapitalisme dibandingkan ekonomi Islam.
Salah satu bentuk peran swasta yang sangat menonjol dalam ekonomi kapitalisme adalah adanya perdagangan bebas. Perdagangan bebas menghendaki dihapuskannya peran negara dalam segala bentuk perdagangan baik nasional maupun internasional. Kondisi ini menjadi semacam boomerang bagi negara yang menerapkannya dimana akan banyak barang impor yang membanjiri wilayahnya dan kesulitan untuk membendungnya. Membanjirnya produk Australia dan mengalahkan produk lokal menjadi contoh kongkrit di depan mata kita.
Dalam Islam, perjanjian perdagangan luar negeri ini hukumnya boleh selama perjanjian tersebut tidak merugikan perekonomian dalam negeri. Namun, kenyataannya perjanjian perdagangan seperti WTO, GATS dan semacamnya cenderung merugikan negara berkembang. Pemerintah ‘terpaksa’ mengikuti tata aturan yang ada karena adanya desakan pihak swasta yang ingin mengambil keuntungan di balik semua itu. Saat ini, Pemerintah seperti boneka yang selau dikendalikan oleh kalangan pemodal karena mereka pun jadi pejabat atas dukungan para pemodal.

Sikap Kita untuk Menolak Perdagangan Bebas
Sikap yang harus kita ambil untuk menolak perdagangan bebas ini adalah sikap yang mendasar yakni sikap menolak Kapitalisme itu sendiri. Mari kita kembali kepada Islam mulai dari ajarannya yang paling mendasar. Kita harus semakin yakin bahwa hanya aturan Alloh yang dapat menyelesaikan masalah negeri ini. Kita jangan mendukung penguasa yang tidak mau menerapkan Islam sebagai aturan kehidupan ini.

Selasa, 28 April 2009

Kenapa Malu ‘Menjual Syari’ah’?

Ada banyak ungkapan yang disampaikan oleh para politisi kita ketika mereka didesak untuk mengopinikan syari’ah di tengah keringnya pemikiran Islam dalam kancah politik negeri ini. Ada banyak alasan pula ketika mereka ramai-ramai untuk menolak mengopinikan syari’ah baik di parlemen, mimbar ilmiah atau dalam pertemuan politis lainnya. Hal yang memilukan sekaligus membingungkan adanya ungkapan dari politisi Muslim bahwa ‘jualan syariah sudah tidak laku lagi’. Banyak faktor yang mendasari keluarnya ungkapan seperti itu, antara lain:
Pertama, keimanan yang lemah menjadi penghalang seseorang untuk mengatakan kebenaran. Pertimbangan akal yang dimilikinya telah mengalahkan perintah Alloh SWT untuk menyampaikan kebenaran di tengah-tengah umat. Alasan syar’i yang seharusnya mereka turuti seakan tidak menjadi motif utama dalam berpolitik tetapi kenikmatan duniawi menggelapkan hati dan pikiran mereka. Apalagi jika syetan selalu menggerayangi hati dan pikiran mereka di tengah riuh-rendahnya suara kebatilan.
Kedua, sekulerisme telah merasuki pikiran umat ini, tidak terkecuali para ulama, sehingga arah politik yang dibangun oleh politisi Muslim pun teracuni oleh cara pandang sekuler. Mereka enggan untuk membawa isu syari’ah dalam perpolitikan dalam negeri yang notabene memisahkan agama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, mereka memahami bahwa untuk meraih dukungan umat tidak harus mengopinikan syari’ah. Pemikiran ini membawa banyak partai berbasis Islam menjadi partai terbuka yang telah luntur ciri ke-Islamannya. Padahal, untuk sebuah perubahan harus ada perbenturan pemikiran sehingga tercipta opini umum tentang syari’ah di tengah-tengah umat. Dengan begitu, umat pun akan dapat membedakan antara yang haq dan bathil karena mereka masih mempunyai akidah walaupun lemah.
Keempat, dakwah yang dilakukan oleh para politisi Muslim tidak mengikuti metode dakwah Rosululloh SAW. Metode dakwah tersebut adalah pembinaan umat dan berinteraksi dengan umat untuk membentuk pemikiran Islam sebagai opini umum. Setelah itu, penyerahan kekuasaan dari pemerintah yang ada akan dengan mudah dilakukan karena umat sudah tidak setuju dengan demokrasi yang sedang berjalan dan menghendaki ditegakkannya syari’ah Islam.
Mungkin masih banyak faktor yang menghalangi para politisi Muslim untuk menyuarakan syari’ah dan Khilafah. Tetapi, yang pasti kita jangan terpengaruh oleh opini miring untuk menyudutkan para pengemban dakwah yang ‘menjual syari’ah dan Khilafah’. Tetaplah konsisten untuk menyuarakan kebenaran!

Apakah Pemilu Kali ini Buruk?


Pemilu 2009 merupakan Pemilu dengan banyak kejanggalan baik tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) bahkan hingga kesalahan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Masih banyak hal yang perlu dikritisi sehingga banyak kalangan yang ramai-ramai mengadu ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Entah apa motifasi di balik semua bentuk pengaduan tersebut. Apakah karena mereka mengalami kekalahan atau sekedar cari muka di hadapan rakyat?
Ada banyak kemungkinan yang menyebabkan begitu buruknya Pemilu kali ini. Masalah administrasi yang kacau, keamanan yang tidak terjaga bahkan kekurangcakapan petugas dalam mengelola proses pemungutan suara menjadi kendala yang sulit untuk dihindari ketika Pemilu berlangsung. Kemungkinan tersebut bisa berasal dari petugas sendiri atau karena kondisi sosial masyarakat yang kurang bersahabat.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kejanggalan ini pada petugas atau Pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu. Tetapi ini menjadi kesalahan besar rakyat Indonesia ketika masih mendukung konsep ini untuk dijalankan. Padahal kita tahu, konsep pemilu seperti ini sungguh sangat tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidak efisienan Pemilu ini lahir dari konsep dasar atau cara pandang masyarakat terhadap ‘betapa pentingnya memilih seorang penguasa’.
Masyarakat memandang bahwa sangat penting memilih penguasa yang akan mengurus segala urusannya. Cara pandang ini memotifasi masyarakat untuk bersegera menggelar Pemilu sebagai sarana untuk mengangkat seorang Penguasa. Masyarakat menyadari bahwa tidak mungkin ada sebuah negara tanpa pemimpin yang merepresentasikan rakyat. Namun, cara pandang seperti ini masih terlalu sempit sehingga mereka melihat bahwa pemimpin yang dipilih oleh rakyat-lah yang sah secara moral. Padahal belum tentu calon legislatif atau eksekutif yang mereka pilih merepresantikan aspirasi mereka.
Banyak kalangan menganggap bahwa Pemilu merupakan acara ‘sakral’ yang wajib digelar dalam rangka menentukan arah pembangunan negeri ini. Jika kita mencermati, cara untuk memilih penguasa tidak harus melalui Pemilu. Karena saya tidak melihat benang merah yang jelas antara Pemilu dengan kegiatan pembangunan negeri ini. Siapa pun yang terpilih, arah kebijakan pembangunan justru tidaklah berpihak pada rakyat malah yang terjadi adalah pembangunan yang menguntungkan pengusaha dan para kapitalis. Apakah negara monarki pembangunannya terhenti karena tidak ada Pemilu?
Dalam era demokrasi saat ini, ada anggapan umum bahwa ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ sehingga mereka menganggap bahwa penguasa yang terpilih dalam Pemilu adalah representasi kepentingan rakyat. Benarkah demikian? Memang benar, rakyatlah sejatinya yang berkuasa namun fakta membuktikan ternyata janji kosong Pemilu tidak selalu ditepati pada kandidat Pemilu. Anggapan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ ini menjadi hal yang keliru ketika masyarakat melihat dari sisi praktisnya saja dan tidak menilik sisi substansinya. Rakyat yang memiliki kekuasaaan hanya mewakilkan urusannnya kepada orang yang dianggap mampu untuk menjalankannya. Apakah proses ‘pewakilan urusan’ ini harus selalu melalui Pemilu yang mahal?
Hal penting yang harus dicatat adalah bahwa kekuasaan ini merupakan amanat yang harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, penguasa yang terpilih akan menjalankan tugasnya dengan baik dan senantiasa berorientasi untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Kesadaran ini menjadi motif seseorang untuk mencalonkan diri menjadi penguasa bukan karena kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.
Ketika seluruh rakyat sedang tenggelam dalam riuh rendahnya ‘pesta demokrasi’ kali ini bisa jadi begitu banyak kecurangan yang terjadi tidak kita ketahui. Opini media yang ada cenderung mengangkat Pemilu sebagai tema utama. Kita tidak tahu jika kekayaan negeri ini dipreteli oleh orang asing yang menginginkan negeri ini hancur secara perlahan. Maka, sudah seharusnya rakyat negeri ini menyadarinya dan jangan menjadikan Pemilu ini sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kesejahteraan. Buktinya, sudah sepuluh kali Pemilu diselenggarakan kesejahteraan tidak kunjung tiba.

Jumat, 17 April 2009

Euforia Kemenangan

Pemilu legislatif telah digelar, dan kita pun akan melihat hasilnya. Bagi peserta Pemilu, sudah menjadi konsekuensi jika harus menjadi pemenang atau pecundang. Namun, kemenangan yang diperoleh bukanlah seperti kemenangan di meja judi dimana ketika uang sudah di tangan bisa langsung pergi. Jika seorang caleg terpilih untuk menduduki kursi parlemen dan partai mengantongi suara terbanyak itu berarti sebuah cambukan bagi dirinya. Baginya, harus ada usaha maksimal untuk menjalankan segenap janji kampanye yang telah ‘terlanjur ‘ diteriakan.
Apabila kita mau mencermati, ternyata tidak sedikit angota dewan yang terpilih menggelar pesta untuk merayakan kemenangannya. Banyaknya modal yang telah dikeluarkan terasa ringan ketika kemenangan itu telah sampai pada dirinya. Padahal dia lupa bahwa masih banyak anak jalanan yang tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli sebungkus nasi. Seharusnya dia hampiri para pengemis di tengah kota yang begitu berharap para penguasanya dapat memberinya selembar uang kertas.
Ketika para wartawan mengerumuni ‘sang pemenang’ maka dia akan tersenyum penuh dengan kebanggaan. Padahal dikemudian hari akan banyak masalah yang membuatnya kurang tidur dan tidak bisa tersenyum lagi. Krisis ekonomi yang terjadi diikuti oleh berbagai krisis yang sulit untuk diatasi menjadi agenda utama untuk segera diselesaikan. Walaupun mereka menawarkan sebuah janji untuk mengobati krisis ini. Mungkin, suatu saat nanti mereka akan tertegun melihat ribuan nyawa melayang akibat bencana alam yang tidak kunjung berhenti menghantui negeri ini.
Seharusnya mereka menangis ketika mereka tahu jika rakyat banyak memberinya kepercayaan untuk berkuasa. Beban yang ada di pundaknya akan dipertanggung jawabkan di hadapan rakyat. Lebih-lebih Alloh akan menanyakan setiap kebijakan yang akan diambilnya ketika dia menjabat nanti. Kursi panas yang akan didudukinya terasa tidak nyaman karena dia tahu sebenarnya uang rakyatlah yang sedang dia duduki.
Para anggota legislatif yang terpilih pun harus menyadari bahwa banyak rintangan yang akan menghadang kinerja mereka untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Uang panas bisa saja masuk ke rekeningnya dan terungkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga mengantarkan dia masuk ke dalam penjara. Kalau sudah begitu, putuslah harapan untuk mengganti uang kampanye yang jumlahnya bisa menafkahi sebuah keluarga selama setahun.
Namun, dibalik euforia kemenangan ini ada juga para caleg yang menghampiri Rumah Sakit Jiwa untuk sekedar beristirahat atau menenangkan pikiran. Mereka tidak merasakan kemenangan yang dialami sauadaranya, tetapi hanya bisa melihatnya di televisi sambil berbaring di ranjang dan ditemani perawat yang telah dibayarnya dengan harga yang tidak murah. Mungkin, dia kelelahan karena terlalu capek kampanye atau tidak bisa mengembalikan uang kampanye yang dia dapatkan entah darimana.
Sebagai rakyat, kita hanya bisa mengelus dada karena ternyata jabatan itu adalah hal yang berat untuk ditanggung. Maka, jika tak mampu untuk menanggung resiko jangan mau kita seperti mereka.

Rabu, 01 April 2009

Ketika Pemilu Dijadikan Harapan untuk Kesejahteraan Masyarakat

Ada orang yang mengatakan bahwa kesejahteraan itu bersifat relatif dan sulit untuk diukur. Seberapa besar uang yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dikatakan bahwa orang tersebut sejahtera? Memang, ada orang yang sudah merasa hidupnya sejahtera karena dia merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Ada juga yang selalu merasa kekurangan walaupun sudah cukup harta yang dia miliki. Entah dimana letak kesejahteraan yang dimaksud jika masih ada orang yang merasa tidak cukup dengan segala kebutuhannya. Kalau begitu, kata kuncinya adalah ‘kebutuhan’ yang mendasari ukuran kesejahteraan seseorang.
Seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila sudah terpenuhi segala kebutuhannya _bukan keinginannya_. Kebutuhan dasar seseorang mencakup pada 6 hal yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Jika kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi maka layak orang tersebut dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US$ 2 perhari seperti standar PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Seberapa banyak atau sedikitnya upah seseorang per hari tidak akan menjadi ukuran kesejehteraan jika dia belum terpenuhi 6 aspek tersebut. Misalnya, seorang pegawai dengan gaji yang tinggi tetap tidak akan merasa sejahtera karena keamanannya terancam. Begitu pun seorang petani dengan penghasilan rendah akan merasa sejahtera karena pendidikannya terpenuhi serta kesehatannya terjaga, jika dia sakit mudah untuk memperoleh pelayanan dari rumah sakit atau tenaga medis.
Berangkat dari pemahaman dasar ini maka lahirlah konsep kesejahteraan menurut ekonomi Kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, kebutuhan seseorang disamakan dengan keinginan sehingga ukuran kesejahteraan pun menjadi buram. Bahkan konsep ini cenderung menggelembung seiring dengan kaidah ‘kebutuhan manusia tidak terbatas’. Kalau begitu, manusia tidak akan pernah sejahtera karena kebutuhannya (sama dengan keinginannya) senantiasa terus bertambah dan tidak terbatas. Dalam ekonomi kapitalisme tidak ada pembedaan antara kebutuhan dan keinginan sehingga akan senatiasa tidak ada kejelasan batasan diantara keduanya. Dalam ekonomi Islam ada pembedaan diantara kebutuhan dan keinginan sehingga ukuran kesejahtaraan adalah jika seseorang sudah terpenuhi kebutuhannya.

Saat ini begitu banyak calon legislatif ataupun calon presiden dari berbagai partai yang menawarkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dengan harapan dia terpilih pada Pemilu tahun ini. asumsi ini menggiring masyaraakt untuk senantiasa ‘coba-coba’ daalm berpolitik karena hampir setiap caleg atau capres menawarkan konsep yang sama seperti sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis dll. Namun, apakah cukup dengan itu kesejahteraan itu dapat tercapai? Dalam era demokrasi seperti saat ini konsep kesejahteraan yang ditawarkan tidaklah baku artinya senantiasa berubah-ubah maka konstituen pun senantiasa memiliki perubahan cara pandang ketika menentukan pilihannya.
Apabila seorang calon penguasa terpilih dan ternyata rakyat tidak kunjung sejahtera maka Pemilu selanjutnya rakyat akan memilih calon penguasa yang lain, kejadian ini terjadi berulang-ulang. Keadaan ini adalah buah dari tidak bakunya sistem hidup yang ada sehingga setiap orang senantiasa memberikan teori masing-masing yang belum tentu berhasil ketika diterapkan. Inilah bentuk dari kesalahan demokrasi ketika ketika berharap kesejahteraan padanya. Demokrasi memberikan kewenangan bagi setiap orang untuk mengemukakan teori tentang cara mengatur urusan masyarakat termasuk bidang ekonomi. Namun, teori tersebut akan senantiasa berubah tergantung pada siapa yang berkuasa.
Sistem kehidupan Islam merupakan aturan yang baku dari Alloh SWT dan Rosul-Nya yang telah memberikan pedoman dimana manusia tinggal menjalankannya. Dia-lah yang Maha Tahu apa kebutuhan manusia dan bagaimana cara memenuhi kebutuhannya tersebut. Ketika Islam berkuasa maka tidak ada perubahan dasar aturan kehidupan yang senantiasa berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunah. Apabila terjadi perbedaan pendapat maka pendapat tersebut lahir dari metode penggalian hukum dengan standar yang baku sehingga setiap pendapat adalah pedapat Islami. Dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga rakyat (dewan) berhak membuat aturan hidup. Dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada syara’ dimana setiap orang tidak punya hak untuk membuat aturan karena sudah ada dari Alloh SWT.

Pemilu untuk Menuai Kesejahteraan?
Masihkan kita berharap pada Pemilu untuk menuai kesejahteraan? Padahal pemimpin yang telah terpilih tidak menerapkan aturan Islam sebagai kewajiban setiap individu Muslim. Sebaliknya, kekayaan alam negeri ini dijual kepada para Kapitalis untuk dieksploitasi padahal kekayaan itu hak rakyat yang harus digunakan untuk kepentingan rakyat. Legislatif yang terpilih telah menelorkan undang-undang yang justru mendzolimi rakyat seperti UU Pornografi, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Minyak dan Gas, UU Sumber Daya Air dll. Udang-undang tersebut dibuat oleh wakil rakyat dimana isinya lebih berpihak pada golongan tertentu dan jauh dari tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.
Para wakil rakyat dan pemerintah akan senantiasa berdebat tentang bagaimana cara untuk mengatur urusan rakyat sehingga rakyat sejahtera. Padahal jika mereka mau sudah ada aturan Islam yang baku dari sang Maha Pencipta. Mereka adalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan sehingga pemikiran mereka terbatas dan tidak bisa menjangkau besarnya urusan manusia. Pengharapan kita pada mereka adalah pengharapan semu bahkan bisa mengguncang akidah kita karena pengharapan hanya pada Alloh SWT. Dia telah menjawab harapan kita yakni dengan memberikan aturan Islam sebagai pedoman untuk mencapai kesejahteraan yang kita inginkan. Aqidah kita mengharuskan untuk menjalankan Islam sebagai aturan hidup sehingga akan banyak hikmah yang kita rasakan yakni adanya keteraturan hidup. Kehidupan yang teratur akan melahirkan kondisi bangsa yang aman, nyaman dan tercapainya kemakmuran yang sejati.

Penutup: Tidak Pernah Ada Perasaan Cukup….
Sikap masyarakat Kapitalis saat ini tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki karena tidak memiliki standar kesejahteraan yang jelas. Ideologi kapitalisme membuat manusia berikap tamak terhadap harta yang dimiliki bahkan cenderung bersifat konsumtif. Kalau begitu, sampai kapan pun manusia akan senantiasa merasa kurang dan selalu merasa ingin lebih. Keinginan ini yang mendorong mereka untuk berharap pada penguasa yang ada dan melupakan pengharapan mereka pada Alloh SWT.
Islam mengajarkan pada kita untuk bersikap qonaah artinya merasa cukup dengan kondisi yang ada jika semua kebutuhannya telah terpenuhi sembari manjalankan setiap perintah Alloh yang diturunkan padanya. Sikap seperti inilah yang mendorong orang untuk senantiasa bertaqwa kepada Alloh. Penguasa pun akan memiliki tanggung jawab untuk melayani umat karena itu adalah kewajiban yang harus dia penuhi. Wajar, ketika penguasa saat ini enggan untuk melayani rakyat karena mereka berkuasa bukan atas dasar keimanan pada Alloh tetpai karena kepentingan diri yang tidak pernah merasa cukup.

Jatinangor, April 2009
Muhammad Yusuf Ansori

Senin, 30 Maret 2009

Resensi Buku 'Kamal Attaturk, Pengusung Sekulerisme dan Penghancur Khilafah Islamiah'



Buku ini ditulis oleh seseorang dengan nama pena Dhabit Tarki Sabiq dan diterbitkan oleh Senayan Publisihing pada Juni 2008. Edisi Bahasa Indonesia yang dapat kita baca ini diterjemahkan dari edisi bahasa Arab dengan judul ar-Rhajul ash-Shanam, Kamal Attaturk. Buku ini dapat dengan mudah ditemukan di toko buku walaupun sebenarnya di Turki dilarang.
Pelarangan beredarnya buku ini berdasar pada sebuah Undang-undang tentang Kamalisme yang melindungi segala tingkah laku Attaturk dari berbagai kritik terhadapnya. Dalam buku ini dibeberkan segala kelakuan buruk Attaturk yang sebenarnya tidak pantas ada pada seorang pemimpin negara. Pelacuran dan pesta minuman keras selalu mewarnai kehidupannya tanpa ada yang berani untuk mengkritiknya.
Sejatinya, buku ini tidak hanya menonjolkan sisi pribadi Attaturk saja tetapi menampilkan jalan pemikirannya yang keji. Apabila kita telusuri maka ada beberapa hal yang dapat diambil kesimpulan dari cara berpikir Attaturk dalam rangka menghancurkan Daulah Islam dari jantung pertahanannya:
Pertama, Attaturk adalah seorang penyusup dan mata-mata yang hebat. Dia menjadi anggota tentara Turki Ustmani dan berhasil mencapai gelar Ghazi sebagai gelar tertinggi kemiliteran. Sikapnya yang pandai bermanis muka menjadikan dia seorang kepercayaan Sultan sehingga banyak kebijakan militernya yang justru menghancurkan eksistensi tentara Turki Ustmani.
Kedua, setelah berhasil menjadi orang penting dalam jajaran militer Ustmani maka dia tega untuk menjual negerinya sendiri kepada penjajah Eropa. Salah satu wilayah penting Daulah Islam waktu itu adalah Palestina yang telah dia berikan kepada Lord Allenby sebagai panglima tentara Inggris. Sikapnya yang keji ini membawa pada hancurnya Daulah Khilafah sedikit demi sedikit. Wilayah Daulah Islam yang begitu luas secara perlahan dia bagikan kepada penjajah tanpa rasa malu dan merasa berdosa. Begitu banyak dokumen yang membeberkan perbuatannya ini tapi banyak pula orang yang tidak mengetahui duduk perkaranya karena dokumen penting yang berhubungan dengannya dilarang untuk dipublikasikan.
Ketiga, ketika kondisi Daulah Islam mencapai puncak keterpurukannya maka dia tampil seakan menjadi pahlawan yang siap membela rakyat Turki dari kehancurannya. Isu ‘nasionalisme Turki’ menjadi senjata ampuh dalam rangka menjauhkan umat dari Khilafah dan Kholifah. Melalui partainya al-Ittihad wa at-Taroqi dia sebarkan opini bahwa rakyat Turki harus dapat hidup mandiri dan terlepas dari pengaruh bangsa Arab. Banyak orang yang termakan oleh opininya ini dan mendukung dia untuk memisahkan segala pengaruh budaya Arab dalam kehidupan rakyat Turki. Dengan begitu, timbul kebencian mereka terhadap orang Arab yang selama ini menjadi penguasa mereka. Puncaknya, mereka ingin terpisah dari wilayah Daulah Islam yang notabene mayoritas berbangsa Arab dan Persia.
Keempat, Kamalisme yang berarti sekulerisme menjadi jargon politik yang dia tanamkan di tengah masyarakat Turki. Ide ini menjauhkan umat dari Islam dengan sejauh-juahnya. Dia mengganti penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa sehari-hari menjadi bahasa Turki bahkan adzan pun diganti dengan bahasa Turki. Pakaian ala Arab pun dilarangnya dan diganti dengan pakaian orang Eropa pada umumnya sehingga tampak dengan jelas kebencian dia terhadap Islam. Dia menginginkan rakyat Turki sama dengan rakyat Eropa karena baginya Eropa adalah pusat kamajuan dunia yang harus ditiru segalanya tanpa terkecuali gaya hidupnya. Hingga kini, sekulerisme sudah merasuki benak rakyat Turki bahkan mereka malu jika menanggalkan identitas sekuler mereka walaupun mayoritas diantara mereka adalah Muslim.
Buku ini dapat menjadi tambahan informasi yang penting untuk mengetahui kondisi Attaturk yang sebenarnya. Jangan sampai masih ada yang mengkategorikan dia sebagai ‘tokoh Revolusi Islam’ seperti yang ditulis pada buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) untuk Madrasah Aliyah (MA). Saya tidak tahu apa motif dibalik penulisan ini, tetapi yang pasti Kamalisme/sekulerisme dicoba untuk dibenamkan dalam otak generasi Islam saat ini. Wajar jika umat ini senantiasa terpuruk karena umatnya sendiri sudah jauh dari Islam.

Jatinangor, 30 Maret 2009
Muhammad Yusuf Ansori


Minggu, 22 Februari 2009

OBAMA KIRIM TENTARA ke Afganistan

WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Barack Obama Selasa waktu setempat menyetujui penambahan sebanyak 17.000 pasukan ke Afghanistan. Penambahan ini bertujuan menstabilkan situasi keamanan yang dianggap makin memburuk.

"Tidak ada kewajiban serius lain bagi seorang presiden selain memutuskan untuk menambah pasukan untuk mencegah kejahatan," ungkap Obama dalam pernyataannya dan dikutip AFP, Rabu (18/2/2009).

"Apa yang saya lakukan hari ini menunjukkan bahwa situasi di Afghanistan dan Pakistan membutuhkan perhatian penting dan penanganan yang cepat," tambah Obama.

Penambahan ini, lanjut Obama, merupakan respons dari pemerintahannya terkait permintaan Komandan Pasukan AS di Afghanistan David McKiernan yang bulan lalu meminta tambahan hingga 30.000 pasukan.

Untuk memenuhi permintaan mendesak dan penting, Obama telah menyetujui permintaan Menteri Pertahanan Robert Gates untuk mengirim Marine Expeditionary Brigade pada musim semi tahun ini. Setelah itu disusul pengiriman Army Stryker Brigade dan pasukan pendukung pada musim panas.

Gedung Putih menyatakan 17.000 pasukan itu dikirim untuk menjaga stabilitas keamanan menjelang pemilihan umum Afghanistan yang akan berlangsung pada 20 Agustus mendatang.

Saat ini sudah ada 38.000 pasukan AS di negara yang sekira 60 persen wilayahnya dikuasai Taliban itu

Rabu, 18 Februari 2009

Ketika Kita Menyambut Pemilu, Kekayaan Negeri Ini Diobral Murah


Gegap gempita Pemilihan Umum sudah terasa beberapa saat lalu hingga hari ini. Hampir setiap pemberitaan media massa didominasi oleh isu Pesta Demokrasi Rakyat Indonesia. Masyarakat seakan lupa sejenak tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini. Angka kemiskinan yang terus naik, jumlah pengangguran yang semakin tinggi serta banyaknya oknum negeri ini yang ‘rela’menjual kekayaan alam negerinya dengan harga murah seakan luput dari pemberitaan media. Mungkin media enggan untuk menyampaikan isu ini karena berita seperti ini sudah tidak laku lagi di mata masyarakat. Mereka lebih suka menonton sinetron untuk melupakan segala kepenatan yang dialami di setiap detik waktu hidupnya.

Lagi, negara mengalami kerugian sekitar Rp. 20 triliun akibat ‘ketegaan’ oknum pengelola negeri ini. Kali ini ladang Gas Senoro, Sulawesi Tengah dijual oleh Pertamina dengan harga US$ 2,8 per mmbtu (milion metric british thermal unit). Padahal idealnya gas ini dijual dengan harga US$6 per mmbtu pada harga minyak US$ 44 per barel. (Media Indonesia, 16 Februari 2009). Tidak tahu kenapa, kok tega-teganya orang Pertamina menjual gas dengan harga murah ke China, Jepang dan Korea Selatan selama 15 tahun. Saya pikir, adanya pergantian direksi di Pertamina hanya bikin kisruh saja sedangkan yang memiliki peran sesungguhnya adalah para pengusaha asing. Mereka senantiasa menginterpensi negeri ini dalam bidang energi dan pertambangan.

Ya, itulah konsekuensi dari digunakannya sistem ekonomi liberal dengan ideologi Kapitalisme sebagai acuan pergerakannya. Ideologi ini selalu menguntungkan pihak para Kapitalis sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk menguasai negeri yang memiliki cadangan energi yang besar. Aneh, sering kita melihat antrian masyarakat untuk memperoleh bahan bakar gas atau berhentinya pabrik pupuk untuk berproduksi karena tidak adanya gas sebagai bahan baku tetapi gas yang kita miliki dijual keluar negeri dengan harga yang murah.

Adanya interpensi pihak asing sudah menjadi hal yang ‘lumrah’ ketika kita menyerahkan pengelolaan kekayaan negeri kepada para penguasa sekuler. Ketika Pemilu, rakyat memlilih mereka untuk menjadi wakilnya di parlemen. Para wakil rakyat ini adalah utusan para pengusaha karena bagaimanapun mereka dibiayai oleh perusahaan ketika berkampanye. Dengan begitu, ketika mereka duduk di kursi panas mereka pun rela melakukan apa saja yang sesuai dengan pesanan para penyokong dana.

Ketika kita tahu kelakukan mereka seperti itu, apakah kita akan memilih mereka lagi untuk mengelola negeri ini? Saya pikir, siapa pun yang kita pilih ketika sistem demokrasi yang masih dipakai maka akan senantiasa terjadi kekacauan pengeloaan negara karena setiap jengkal tanah di dunia ini sudah dimonitor oleh para Kapitalis. Kita jangan terpedaya oleh para kandidat pemimpin yang berjanji akan mensejahterakan rakyat atau ‘anti korupsi’ padahal sebenarnya mereka mengalihkan ‘solusi sesungguhnya’ negeri ini menjadi ‘solusi parsial’. Negeri ini tidak hanya butuh pemimpin yang bersih, jujur dan adil tetapi penguasa yang menjalankan Islam sebagai syariatnya!

Kamis, 12 Februari 2009

Sekulerisme = Pemurtadan


Mengamati Maraknya Pemurtadan

“Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai orang Kristen….Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar hawa nafsu.” (Samuel Zweimer dalam Konferensi Misionaris di al-Quds, 1935, Media Umat edisi 6/ 6-19 Februari 2009)

Upaya pemurtadan umat Islam sudah sejak lama ada ketika Daulah Islam masih tegak hingga saat ini (Daulah Islam, An-Nabhani 2007). Upaya ini tidak main-main, orang-orang kafir senantiasa memeras otak untuk menemukan cara bagaimana supaya umat ini jauh dari Islam dan bahkan keluar dari agama Islam (murtad). Sudah begitu banyak fakta membuktikan ternyata aqidah seorang Muslim dapat ditukar dengan sekardus mie instant!

Terkadang kita merasa marah ketika hal ini terjadi, namun cukupkah seperti itu? Seharusnya kita marah pada diri kita sendiri karena kita tidak bisa menjaga aqidah saudara-saudara kita. Kita lebih disibukkan oleh urusan duniawi dan perebutan kekuasaan dimana kekuasaan itu hanya membuat kita jauh dari rahmat Alloh SWT. Kita baru menyadari bahwa betapa lemahnya aqidah umat ini ketika mereka berbondong-bondong keluar dari agama Alloh. Saudara, teman bahkan keluarga kita sendiri yang menjadi korban pemurtadan ini.

Sebenarnya, seberapa pun hebatnya orang kafir mempengaruhi umat Islam tidak akan terpengaruh jika aqidah yang dimiliki setiap individu begitu kuat. Aqidah yang kuat ini lahir dari proses berfikir tentang alam semesta, manusia dan kehidupan. Aqidah yang lahir bukan berasal dari perasaan yang dapat berubah setiap saat. Jangan aneh ketika banyak orang murtad karena merasa tidak nyaman dengan Islam yang dianutnya. Memang, Islam ini bukan tempat untuk mencari kenyamanan tetapi tempat untuk mendapatkan rahmat Alloh SWT.

Namun bagaimanapun permurtadan ini bukanlah problem utama umat Islam. Hal yang menjadi problem utama umat Islam adalah tidak diterapkan syariat Islam dalam kehidupan dibawah naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Khilafahlah yang akan senantiasa menjaga aqidah umat yakni dengan menjauhkan umat dari pemikiran kufur seperti sekulerisme dan demokrasi. Faham inilah justru yang membuat aqidah umat ini goyah dan berpaling dari kebenaran Islam. Ketika orang menganggap Islam adalah agama ritual belaka maka mereka pun beranggapan bahwa Islam bisa disejajarkan dengan agama yang lain. Justru, hal inilah yang lebih berbahaya dibandingkan dengan permurtadan karena kondisi umat Islam sangat mudah digoyah.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan ketika pemurtadan ini sudah terlanjur terjadi, diantaranya:

Pertama, Dakwahkan Islam dengan pendekatan ideologis (fikriyah) bukan dengan pendekatan perasaan (su’uriyah) sehingga orang faham mengapa dia harus memilih Islam sebagai jalan hidupnya.

Kedua, Perkuat barisan umat Islam untuk memiliki cita-cita yang sama yakni tegaknya Islam dibawah naungan Daulah Khilafah karena Khilafah-lah yang akan mengurus seluruh masalah umat ini.

Ketiga, perbanyaklah kegiatan ke-Islaman yang akan memperkuat pemahaman kita tentang Islam, jangan terlalu banyak acara bazar, pameran, gema nasyid atau training ini-itu.

Keempat, jaga diri kita dari berbagai bentuk maksiat.

Jatinangor, 12 Februari 2009

Muhammad Yusuf Ansori

Mahasiswa Fapet Unpad Jatinangor


Sabtu, 07 Februari 2009

Suarakan Islam dengan Terbuka


Menyimak Maraknya Partai ‘Oplosisi’ antara Islam dan Sekuler

Ketika umat ini membutuhkan seorang Pemimpin maka begitu banyak orang yang menawarkan diri untuk menjadi pemimpin. Segala janji yang telah diumbar ternyata sulit mereka realisasikan karena janji-janjinya masih ‘standar-standar’ saja. Perubahan yang mereka janjikan hanyalah perubahan parsial bukan peruabahan fundamental untuk memperbaiki nasib negeri ini. Mereka berkilah bahwa perubahan itu harus bertahap, namun kenyatannya tahapan perubahan itu tak kunjung datang malah semakin memalingkan umat ini dari Pencipta-nya.

Realitas ini terlihat ketika banyak partai-partai, baik partai berbasis masa Islam maupun sekuler, mengkampanyekan agenda kerja mereka bukan mengkampanyekan inti dari sebuah perubahan (padahal mereka tahu). Hingga saat ini tidak ditemukan partai yang menawarkan konsep sistem ekonomi alternatif yang menjadi pemicu krisi multidimensi negeri ini. Mereka lebih sibuk dengan agenda ‘berantas korupsi’ atau ‘harga sembako murah’ padahal hal tersebut sulit direalisasikan karena saking rusaknya ideologi Kapitalisme yang dianut umat ini.

Agenda-agenda kosong ini ternyata disampaikan juga oleh partai berbasis masa Islam. Ya, saat ini tidak ada partai Islam karena mereka tidak menyuarakan Islam dengan terbuka. Apakah mereka takut dicap teoris, oposisi atau pengkhianat bangsa? Alasannya sih, berpolitik itu harus cerdas, tapi apakah mereka lebih cerdas dibandingkan Rosululloh yang menyuarakan Islam dengan terbuka. Tegas, jelas dan menantang sistem kufur yang ada….

Fakta membuktikan bahwa saat ini umat semakin kebingungan karena tidak adanya pilihan yang jelas. Mau milih partai berbasis Islam atau sekuler buat jadi panutan ternyata sama saja karena isu yang diangkatnya pun sama seperti ‘partai kasing sayang’, ‘bersama kita bisa’ dll. Kalao mau_dan seharusnya_ partai berbasis massa Islam ini menyuarakan syariat Islam sebagai agenda kampanye mereka sehingga pemilih pun bisa memilih dengan jelas bukan masang iklan dengan menampakan wanita yang tidak pake jilbab. Wajar kalau partai berbasis Islam kalah terus…….

Tahu nggak kenapa HAMAS di Palestina menang pada 2003 lalu? Trus, Ikwanul Muslimin juga dipercaya muslim di Mesir untuk jadi penguasa? Dan juga FIS di Aljazair menang mutlak pada pemilu mereka? Ya karena mereka bertindak menjadi oposisi yang jelas, ni saya Islam dan yang itu kafir, silakan mau milih mana? Mungkin seperti itulah ungkapan mereka kepada umat. Jika partai berbasis Islam ini mau seperti itu ya silakan tiru, jangan cuma logonya aja di tempel di baju-baju.

Jadi, agendakan visi dan misi partai denga jelas dan tebuka kepada umat, kalau mau menjadikan negeri ini Daulah Islam ya sampaikan jangan ditutup-tutupi. Justru kondisi ini semakin mempersulit tegaknya syari’ah Islam karena masih berputar-putar di area demokrasi sebagai sarang kemaksiatan. Jika nanti ada reaksi keras dari penguasa, ya itu resiko dalam rangka menyuarakan kebenaran. Tetapi, ketika ada dukungan dari umat ya Insya Alloh akan dimudahkan. Percaya nggak? Kalo kita menyuarakan Islam dengan terbuka maka para tentara dan polisi pun akan membantu kita karena kebanyakan mereka adalah muslim. Aqidah mereka menuntutnya untuk membela Islam karena mereka juga percaya akan adanya syurga.

Silakan buka kembali syiroh Rosululloh, beliau pun menyampaikan Islam dengan terbuka. Dengan begitu, akan tercipta opini umum di tengah umat bahwa ada dua ideologi yang sedang ‘bertabrakan’ yakni Islam di tengah kekufuran. Buktinya, banyak orang yang tertarik bahkan Salman al-Farisi jauh-jauh datang dari Persia untuk masuk Islam. Orang juga cerdas untuk memilih Bung……kita jangan takabur dengan mengatakan bahwa harus ada konsep yang cerdas dalam menyuarakan Islam! Saya pikir, dalam dakwah ini wajib mengikuti apa yang telah dicontohkan Rosulululloh bukan dengan mengedepankan otak kita…..

So, jangan ditutup-tutupi apa yang seharusnya disampaikan dan jangan disampaikan apa yang tidak boleh disampaikan. Jika kita harus mengatakan bahwa demokrasi itu haram ya katakan, jika kita harus mengatakan bahwa syari’ah Islam itu wajib ya katakan, jika khilafah itu cita-cita kita ya katakan……biarlah umat yang memilih. Jangan sampai harta dan tenaga yang kita gunakan tidak berarti apa-apa di hadapan Alloh karena kita masih menjadikan demokrasi sebagai jalan perubahan ini……..

Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(QS. Al-Maidah: 32)

Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan.’ (QS. Nuh: 8)

Jumat, 06 Februari 2009

Pemilu dan Nasib Rakyat


Pemilu Tidak Menjadi Solusi atas Segala Krisis yang Terjadi

Memasuki tahun 2009, rakyat Indonesia dihadapkan pada situasi yang serba sulit. Realitas politik yang terjadi tidak dapat menjadi obat penawar bagi kemelut bangsa ini. Kondisi sosial, politik dan ekonomi yang belum kunjung baik membuat rakyat menggantungkan harapan pada elit politik yang senantiasa hadir sebagai ‘pahlawan kesiangan’ dengan janji-janji kosong yang terkadang tidak masuk diakal. Saya pikir, wajar jika Alloh SWT tidak kunjung memberikan pertolongannya pada kita walaupun kita berdoa siang-malam jikalau solusi yang kita gunakan bukan solusi dari Alloh SWT. Masyarakat cenderung berharap pada manusia sebagai makhluq Alloh sehingga lambat-laun menjauhkannya dari Alloh SWT.
Ketika masyarakat memiliki kebingungan dengan krisis yang terjadi maka sebagian diantara mereka menjadikan momen Pemilu (Pemilihan Umum) atau Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai ajang ‘coba-coba’. Masyarakat berharap dengan pergantian kepemimpinan akan terbentuk suasana masyarakat yang lebih baik karena adanya pergantian orang. Padahal tidak menjadi jaminan ketika adanya pergantian pemimpin akan tercipta kondisi yang berbeda secara signifikan karena pada dasarnya tidak terjadi pergantian sistem kehidupan. Perputaran waktu menunjukan kepada kita bahwa krisis yang terjadi akan berlarut-larut ketika setiap individu dalam umat ini masih mengharapkan pertolongan dari sosok yang selama ini dielu-elukan. Bangsa Indonesia bisa bercermin pada era Reformasi ’98 yang menelan banyak korban, sudah beberapa kali terjadi pergantian kepemimpinan (baik nasional mapun daerah) namun hal itu tidak menjadi jaminan akan adanya perubahan bagi nasib rakyat.
Ketika seringnya Pemilu atau Pilkada justru semakin banyak menimbulkan efek negatif bagi realitas sosial politik di sekitarnya. Adanya sosok yang dijagokan dalam Pemilu dan Pilkada maka akan ada dua atau lebih komunitas pendukung yang saling jotos karena adanya perbedaan kepentingan. Pilkada Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara dan banyak lagi contoh kongkrit dimana pemilu menelan korban yakni kesemrawutan kondisi sosial. Ketika terjadi konflik di tengah masyarakat maka berpengaruh pada dinamika sosial yang lain seperti banyak orang yang enggan berjualan karena takut toko mereka jadi bulan-bulanan massa. Begitu pula Pemerintah lebih sibuk mengurusi masalah perebutan keuasaan dalam Pemilu atau Pilkada ketimbang mengkonsentrasikan diri memperbaiki krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Krisis ekonomi sebagai pemicu utama segala konflik yang terjadi seperti sengaja dibiarkan barlarut-larut padahal sebenarnya rakyat banyak berharap akan ada perbaikan kondisi ekonomi ketika terjadi pergantian kekuasaan. Namun, pergantian kekuasaan hanyalah memicu kesengsaraan selanjutnya karena ternyata devisa negara yang ada habis terpakai untuk ‘pesta demokrasi’ (dari namanya saja jelas tindakan hura-hura). Sekitar 1,6 triliun rupiah habis terpakai untuk mendanai pilkada di berbagai daerah padahal lebih baik dipakai untuk mendanai sektor pendidikan yang semakin buruk (Al-Wa’ie, Januari 2009). Pemerintah sering berkilah dalam masalah defisitnya devisa negara tetapi ternyata uang rakyat yang ada tidak digunakan untuk hal yang lebih prioritas tetapi dialihkan untuk sesuatu yang sepertinya lebih penting padahal tidak begitu penting. Pemilu atau pilkada hanya menjadi ajang untuk unjuk gigi akan kehebatan masing-masing calon penguasa. Jadi, kalau krisis ini bisa selesai tanpa harus ada Pemilu atau Pilkada, kenapa harus ada Pemilu atau Pilkada?
Pada awalnya, kaum Reformis menganggap Pemilu sebagai pintu gerbang menuju perbaikan nasib bangsa _terutama krisis ekonomi_ tetapi ternyata perkiraan tersebut meleset karena krisis semakin menjadi-jadi setelah adanya pergantian kekuasaan bahkan hingga ke tingkat daerah. Mereka justru memalingkan masalah ekonomi _sebagai masalah utama_ menjadi masalah krisis kepemimpinan. Opini ini membawa masyarakat menjadi lupa akan problem mereka dan cenderung menuruti kemauan kaum Reformis. Pada faktanya, ketika terjadi pergantian kekuasaan, penguasa yang baru justru memperburuk masalah ekonomi dengan menjual aset bangsa kepada Kapitalis asing dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada IMF (Lembaga Moneter Internasional) dan Bank Dunia. Hasilnya, bangsa ini telah masuk ke dalam ‘perangkap laba-laba’ yang lengket dan sulit untuk keluar kecuali dengan menghancurkan jaring tersebut! Selain itu, setelah pilkada digelar sebagai imbas dari otonomi daerah ternyata Pemerintah Daerah ada yang tidak sejalan dengan Pemerintah Pusat. Misalnya, ada Pemerintah yang menolak memberikan dana kompensasi kenaikan harga BBM dari pemerintah Pusat dengan alasan memanjakan rakyat. Padahal itu terjadi karena Pemerintah Daerah berbeda partai politik dengan Pemerintah Pusat sehingga berbeda pula kepentingan mereka.
Pemilu terbukti tidak bisa menjadi solusi atas segala krisis yang ada karena menjadikan demokrasi sebagai acuan sistem politiknya. Demokrasi menjadikan manusia berani membuat aturan sendiri diatas aturan Alloh SWT yang agung. Hanya satu hal yang akan menjadi solusi yakni marilah kita menjalankan segala aturan Islam sebagai bentuk dari pertolongan Alloh atas do’a-do’a yang senantiasa kita panjatkan. Umat Islam jangan menjadi orang yang ‘rajin berdoa’ untuk meminta datangnya keajaiban tetapi tidak mau menjalankan konsep kehidupan Islam sebagai jawaban atas doa’-doa’ itu. Umat ini harus yakin bahwa Alloh sudah mengabulkan do’a mereka yakni dengan banyaknya konsep-konsep Islami yang ditawarkan para da’i. Umat ini harus malu ketika masih bergantung pada manusia sebagai penuntun mereka untuk keluar dari krisis ini sehingga agama ini hanya menjadi komoditas politik saja. Wahai kaum Muslimin, Alloh masih ada! Maka janganlah kita berputus asa dari pertolongan Alloh! Perotolongannya telah datang yakni ketika ketika mau membuka hati dan pikiran kita untuk ridlo diatur oleh aturan-Nya!
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan solat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Alloh). Dan barang siapa menjadikan Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Alloh itulah yang menang. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang –orang kafir. Dan bertaqwalah kepada alloh jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah; 55-57)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah; 51)