Sabtu, 03 Mei 2008

Empat Kebijakan Ketahanan Pangan

Mencermati kenaikan harga bahan pangan berarti kita harus mencermati pula kebijakan pemerintah dalam ketahanan pangan di Indonesia. Selama ini banyak kebijakan yang diambil seperti pengaturan laju distribusi pangan, peningkatan bea dan cukai impor pangan dan kebijakan lain yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia. Namun, semua kebijakan yang diambil tersebut hanyalah kebijakan temporer sebagai usaha menghadang laju kenaikan harga bahan pangan dalam negeri.
Untuk itu, harus ada kebijakan permanen yang bersifat jangka panjang dan meningkatkan ketahanan pangan dalam negeri dalam waktu yang lama. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dibagi ke dalam 4 kelompok kebijakan, antara lain :
1. Kebijakan Kultural
Kebijakan kultural adalah kebijakan yang secara langsung berkaitan erat dengan komponen penunjang produksi pangan. Pemerintah harus berusaha meningkatkan produksi dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan komoditas yang akan digarap. Misalnya, penggunaan traktor untuk membajak sawah atau penggunaan mesin perah untuk memerah susu sapi.
Selain itu, peningkatan sumberdaya manusia pun menjadi unsur penting yang harus dilakukan. Karena sumber daya manusia adalah komponen utama dalam laju produksi pangan. Pemerintah harus meningkatkan intensitas penyuluhan ke para petani dan peternak dengan berbagai metode dan materi. Petani diajak untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas komodits pangan yang digarapnya. Karena selama ini kualitas yang buruk menjadi salah satu penyebab sulitnya produk bersaing di pasaran.
Memang, kultur bertani petani di
Indonesiaakan berubah. Petani yang bertani dengan cara tradisional akan berubah menjadi petani konvensional dengan penerapan teknologi yang lebih modern.
2. Kebijakan Sektoral
Kebijakan sektoral adalah kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pertanian di daerahnya masing-masing. Di era otonomi daerah seperti sekarang, setiap daerah ingin menonjolkan komoditas unggulan setiap daerahnya masing-masing.
Adadaerah yang ‘melupakan’ sektor pertanian dan beralih ke sektor industri dan pertambangan dalam memenuhi pendapatan daerahnya. Supaya tidak terjadi hal demikian maka harus ada sinkronisasi kebijakan antara kebijakan pemerintah daerah dan kebijakan pemerintah pusat. Sinkronisasi tersebut diimplementasikan dalam kesepakatan antara menteri pertanian, menteri perekonomian, menteri perdagangan, menteri perindustrian dan pejabat daerah.
Selama ini sudah terjadi over fungsi dari setiap daerah. Misalnya daerah yang seharusnya sebagai sentra produksi beras malah berubah menjadi sentra indusri. Hal ini terjadi di daerah pinggiran Kabupaten Bandung.
3. Kebijakan Fiskal
Kebiajkan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan keuangan nasional. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan malah membuat mandeg sektor lain karena keuangan yang tidak memadai. Pemerintah harus bisa memberikan anggaran yang lebih besar unuk peningkatan produksi pertanian. Tentu saja anggaran itu harus sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada istilah ‘over anggaran’ yang berdampak pada naiknya angka korupsi pada proyek yang diselenggarakan.
Meskipun kondisi keuangan Negara sedang buruk bukan berarti harus ‘mengundang’ investor asing untuk membuka usaha di dalam negeri. Justru kalau hal itu terjadi maka akan timbul problem baru yaitu kapitalisme pertanian. Sebaiknya sebisa mungkin kita menggunakan sumberdaya nasional yang ada. Misalnya membuka jalan bagi para pengusaha dalam negeri untuk menanam modalnya dalam sektor pertanian. Tentu saja pemerintah harus bisa memberikan jaminan masa depan usaha yang baik.
4. Kebijakan Bilateral/Multilateral
Kebijakan bilateral/multilateral merupakan kebijakan yang berkaitan dengan bentuk kerjasama ekonomi yang dijalin
Indonesiadengan Negara-negara lain di dunia. Kerjasama ekonomi seperti seperti APEC (Kerjasama Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik), OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak), dan AFTA (Organisasi Perdagangan Bebas) merupakan salah satu penyebab fluktuatifnya harga bahan pangan nasional. Dengan bentuk kerjasama seperti ini,
Indonesiatidak dapat menentukan kebijakannya sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan perjanjian kerjasama ekonomi yang telah disepakati.
Seharusnya pemerintah RI meninjau kembali kebijakan kerjasama ekonomi yang selama ini terjalin. Karena kerjasama tersebut merupakan bentuk imperialisme ekonomi
Indonesiaoleh Negara-negara maju. Misalnya, APEC (berdiri 1989) yang sengaja dibentuk untuk mengontrol laju ekonomi Negara-negara Asia Pasifik dan Amerika Latin. Sehingga Negara anggota APEC sulit untuk membendung produk impor yang masuk (biasanya lebih murah karena disubsidi). Dan tentu saja berpengaruh terhadap harga komoditas pangan dalam negeri. Kejadian seperti ini bukan hanya di
Indonesia, di Meksiko pun terjadi hal yang sama. Dimana para petani jagung sulit untuk bersaing dengan jagung impor asal Amerika yang harganya cenderung lebih murah. (Media
Indonesia, 11/2/2008).
Itulah kebijakan-kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah Indonesiauntuk mewujudkan ketahanan pangan. Keempat kebijakan tersebut saling berkaitan satu sama lain dimana dan tidak dapat dipisahkan. Apabila ada satu saja jalan yang tidak ditempuh maka akan sulit untuk mewujudkan Negara yang aman dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Tidak ada komentar: