Jumat, 30 Desember 2011

Malam Ke-8, Menyibak Rahasia Alam

Kamis, 18 Nopember 2010

 

Ketika saya membaca buku tentang sejarah Amerika, disitu saya dapati gambaran bahwa ternyata untuk menjadi sebuah negara maju itu senantiasa mengolah alamnya untuk dimanfaatkan. Sekarang kita mellihat betapa Amerika menjadi negara yang berlimpah bahan pangan. Ketika orang Indonesia bingung mencari sumber makanan, justru orang Amerika kebingungan ‘membuang’ kelebihan makanan.

Benar kata ekonom Faisal Basri, hanya bangsa kerdil bangsa yang tidak bisa menghargai para petani. Kita melihat bahwa merekalah yang senantiasa mengolah alam untuk menyediakan kebutuhan pangan masyarakat. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, ternyata kita belum bisa menyibak rahasia di balik indahnya alam Nusantara. Selama ini, kita hanya disibukan untuk meniru bangsa lain dan lupa akan kemampuan diri sendiri.

Kesadaran kita untuk menyibak rahasia alam ini masih sangat kurang. Kita lebih sering memikirkan bagaimana meniru hal sudah ada.  Padahal Alloh SWT sudah memberikan penjelasan bahwa rezeki manusia itu sudah tersedia di alam ini.

Saya punya cita-cita bagaimana menelorkan dan menyebarkan kesadaran untuk menyibak rahasia alam ini pada banyak orang. Tentu saja pendidikan sebagai jalan untuk menyamakan pemikiran setiap orang. Mencari ilmu hingga perguruan tinggi bahkan sampai ke luar negeri ternyata tidak sulit. Banyak orang sudah mendapatkan gelar kesarjanaan dari beragai perguruan tinggi kelas dunia. Namun, betapa sulitnya menerapkan ilmu itu untuk kepentingan masyarakat.

Pendidikan yang berbasis kesadaran untuk mengolah alam ini_saya pikir_ hanya bisa dilakukan melalui pendidikan infromal. Kita tahu jika pendidikan formal di negeri ini tidak bisa “membumikan” ilmu yang telah dipelajari para siswa selama bertahun-tahun. Pendidikan informal itu berupa sanggar alam sebagai tempat untuk mengenalkan alam pada anak-anak. Mereka harus tahu bahwa tanah mereka tempati ini masih memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya, keluarga serta masyarakat secara umum.

Hanyalah manusia pemberani yang bisa menyibak misteri alam ini. Para bajak laut, pencari tambang, petani, pelaut dan banyak lagi profesi yang menuntut keberanian untuk ‘menyatu’ dengan alam sehingga alam pun akan memberikan apa yang mereka inginkan. Pengetahuan anak-anak akan berbagai profesi untuk mengolah alam perlu diperkenalkan sejak dini. Jangan sampai banyak anak-anak yang kebingungan untuk menentukan profesinya semenjak menyelesaikan sekolah bahkan kuliahnya. Itu  saya alami ketika baru lulus Madrasah Aliyah.

Memang, ‘menentang’ alam banyak mengandung resiko. Namun, di balik resiko pasti ada peluang. Bagaikan Yin dan Yang, resiko dan peluang itu saling berhubungan laksana dua sisi mata uang. Justru, anak muda harus berani mengambik resiko jangan hanya megambil ‘jalur aman’. Dengan ilmu pengetahuan, resiko bisa diminimalisir dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya.

Saya percaya bahwa ilmu pengetahuan bisa menyibak rahasia alam. Membaca, meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan adalah jawaban dari kebuntuan hidup manusia. Jangan sampai ada orang yang kelaparan di negeri yang subur ini karena kebodohannya. Peribahasa mengatakan, seperti ayam yang mati kelaparan di lumbung padi.

Konsep-konsep ini akan saya sarikan dalam bentuk ‘kurikulum’ sekolah berbasis alam. Terus terang, saya tidak percaya lagi pada kurikulum pendidikan saat ini yang seperti kacang lupa akan kulitnya. Terlalu mengekor Barat namun lupa akan jatidiri bangsanya. Kurikulum ini akan lebih fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan. Saya akan lebih menitik beratkan pembelajaran pada bagaimana memanfaatkan alam sekitar hingga bagaimana bersahabat dengan iklim yang semakin tidak menentu.

Kita harus faham bagaimana mendapatkan air dan memanfaatkannya dengan maksimal. Air bisa didapat dari dalam tanah dan dialirkan ke rumah-rumah, sawah, ladang, peternakan bahkan sebagai sumber energi. Kehidupan berawal dari air, maka memanfaatkan air dengan maksimal menjadi suatu keharusan. Air yang akan menyuburkan padi, menggemukan hewan ternak dan menggerakan turbin generator. Jika produksi tani dan ternak kita melimpah maka kita bisa menjualnya bahkan hingga ke luar negeri. Itulah yang dilakukan orang Amerika _ jika kita harus mengikuti cara hidup mereka.

Malam Ke-7, Mendapatkan Modal Usaha Peternakan Entok

Senin, 15 Nopember 2010

 

Usaha apa pun  perlu modal. Modal usaha berupa modal tetap dan modal tidak tetap. Untuk sekarang, saya sudah mendapatkan tanah, kandang untuk ternak entok yang saya rintis. Sekarang saya perlu modal operasional untuk pakan, transportasi dan promosi. Angkanya, memang bisa lebih dari Rp. 10 juta, namun bisa juga kurang yang penting usaha ini bisa berjalan atas dukungan modal.

Rencananya, modal itu akan saya dapatkan dari perusahaan atau organisasi non-pemerintah dengan mengajukan proposal usaha. Mudah-mudahan saja dapat diterima. Mereka harus bisa menggelontorkan dananya untuk peternakan entok karena komoditas ini dapat diandalkan. Pengelolaannya yang lebih sederhana dibandingkan ternak unggas lain menjadi kelebihannya maka diharapkan dapat dilaksanakan oleh banyak orang.

Kunci dari proposal yang akan diajukan adalah _adanya pasar yang jelas dari entok yang telah siap untuk dijual. Saat ini, saya belum menemukan pasar entok yang bisa diakses dengan mudah. Akses pasar yang jelas ini diharapkan bisa meyakinkan pihak pemberi modal untuk mengeluarkan sebagian dananya. Jika menilik pasar Jakarta dan Bandung saya sendiri belum mendapatkan orang yang bersedia menjadi distributor.

Untuk saat ini, saya tidak mau gegabah menanam modal dalam jumlah besar untuk meminimalisasi resiko. Membangun fondasi usaha menjadi prioritas usaha saya saat ini. Memang terkesan lambat namun hal ini dapat menjadi daya tawar kita kepada penanam modal. Jika fondasi usaha kita sudah kokoh maka saya pun tidak akan segan untuk mengajukan modal dalam angka yang besar.

Usaha memang perlu agresifitas. Tetapi, hal demikian berlaku untuk usaha yang sudah berjalan. Untuk usaha yang masih ‘bayi’, pelan tapi pasti akan lebih baik. Mending cari aman saja. Saya percaya bahwa fondasi yang kokoh akan lebih tahan diterjang angin. Kita tidak bisa memprediksi iklim usaha dimasa mendatang, maka dari itu sebisa mungkin modal yang ada dialokasikan untuk membangun fondasi usaha.  Ketersediaan pakan, sumberdaya manusia, kepastian pasar, kandang yang kokoh dan kepastian dukungan lingkungan adalah fondasi usaha ternak entok. Semua itu harus menjadi prioritas utama.

Senin, 25 Juli 2011

Malam Ke-6, Mimpi untuk Meguasai Bisnis di Daerah Sendiri

Jum’at, 11 Nopember 2010

Ini bukan sekedar mimpi, tetapi rencana jangka panjang yang harus diwujudkan. Insya Alloh, jika kami punya rezeki akan kami buat asosiasi pengusaha di daerah kami sendiri. Asosiasi Pengusaha Bandrek. Nama yang simpel namun lugas sehingga orang bisa memahami bentuk organisasi yang kami dirikan.
Asosiasi ini menjadi pemersatu bagi pangusaha di wilayah Bandrek dan sekitarnya dengan tujuan untuk memperkukuh eksistensi para pengusaha putra daerah dalam rangka membangun tanah kelahirannya. Ada banyak bidang yang akan kami garap yaitu agribisnis, properti, fesyen, pendidikan, keuangan dan pariwisata. Semua bidang ini diharapkan terintegrasi dan saling menguatkan antara satu sama lain.
Setiap sektor dikuasai oleh satu atau lebih orang diantara kami sehingga terjadi perputaran uang di wilayah usaha kami. Dengan adanya asosiasi ini diharapkan adanya kemudahan usaha seperti kemudahan untuk mengakses sumber daya modal, tenaga kerja dan bahan baku. Misalnya, Odik salah satu teman kami adalah pengusaha dapros dan makanan khas Sunda maka saya yang akan menyuplai beras sebagai bahan bakunya. Jika dia membutuhkan jasa pembangunan pabrik maka saya yang akan menyediakan segala kebutuhan untuk membangun pabrik mulai dari desain, bahan bangunan, tenaga kerja hingga pemeliharaan.
Kami yakin bahwa sepuluh atau duapuluh tahun ke depan wilayah Bandrek dan sekitarnya akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Garut. Kemudahan akses menuju kota besar dan sumber pendapatan masyarakat menjadi alasan kenapa Bandrek bisa berkembang menjadi sebuah kota kecil. Jika Rancaekek dan wilayah Bandung Timur lainnya sudah penuh sesak dan tidak nyaman lagi untuk ditinggali _karena sering banjir_ maka penyebaran penduduk akan mengarah ke arah Kabupaten Garut.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi di Jawa Barat ‘memaksa’ penduduk untuk memilih tempat tinggal yang nyaman, bebas banjir, bebas polusi namun mudah diakses. Untuk itu, kami berusaha menyediakan apa yang diinginkan masyarakat dengan membangun perumahan yang ramah lingkungan, mudah dan juga murah. Kami paham bahwa tipe masyarakat yang berada disini adalah kelas menengah ke bawah maka kami pun menyediakan kebutuhan yang sesuai dengan kemampuan.
Bagaimana dengan areal pesawahan? Supaya bertambahnya jumlah penduduk tidak ‘mengganggu’ areal pertanian yang masih produktif maka kami berinisiatif untuk membangun rumah susun. Rusun-rusun tersebut berada di kawasan yang terintegrasi antara jalan raya, pasar, pusat hiburan dan pusat rekreasi.
Bagi kami, kesejahteraan masyarakat lebih penting daripada keuntungan pribadi karena kami beranggapan bahwa usaha yang berkelanjutan adalah aktifitas usaha yang peka terhadap lingkungan di sekitarnya. Kita sadar bahwa kita tidak akan ada tanpa dukungan masyarakat. Justru, masyarakat di sekitar lokasi usaha adalah konsumen pertama sekaligus pelindung ketika terjadi hal-hal yang tidak terduga seperti musibah kebakaran.
Bagi kami, kebahagiaan yang hakiki adalah ketika melihat orang bahagia karena jasa kita.


Pagi ke-5, Isu untuk Ketakutan

Selasa 10 Agustus 2010

Terorisme menjadi isu utama dunia untuk senantiasa menakut-nakuti masyarakat dunia akan bahaya terorisme. Warga dunia sudah terlalu sering mendengar isu ini sehingga ketakutan itu semakin menjadi-jadi. Saya pikir isu tentang ‘katakutan’ itu menjadi basi ketika terus diulang-ulang. Namun, pengetahuan kita yang kurang justru menambah rasa takut itu.
Ketakutan manusia tidak hanya melulu pada bahaya terorisme. Ketakutan itu datang dari sikap mereka yang berlebihan dalam menyikapi kondisi di sekitarnya. Ketakutan akan kelaparan. Ketakutan akan kemiskinan. Ketakutan akan sikap orang terhadapnya.
Ketakutan-ketakutan itu sebenarnya hanyalah rekaan belaka. Bahkan, hal yang ditakutkan itu ternyata tidak ada dalam dirinya. Kita terlalu dibelenggu oleh opini umum tentang hidup. Ketika hidup itu harus kaya ya semua orang mengejar kekayaan. Setelah kaya, banyak orang yang tidak bisa memanfaatkan kekayaannya. Foya-foya dan hidup konsumtif menjadi kegiatan sehari-hari. Akhirnya, banyak orang kaya yang tidak bahagia. Banyak uang tapi memiliki penyakit kronis yang siap merenggut nyawanya.
Ketakutan manusia akan kelaparan memaksa mereka untuk mencari uang hingga ke pinggiran kota. Mereka meninggalkan kampung halamannya demi ‘sesuap nasi’. Ini memang lucu dan aneh. Mencari sesuap nasi seharusnya pergi ke sawah dan ladang untuk bertani bukan ke pinggiran kota untuk sekedar jadi kuli panggul. Memang rezeki orang siapa yang tahu. Tapi, coba gunakan nalar kita. Jika kita mau mengolah tanah kita maka tidak akan ada istilah kelaparan baginya. Kelaparan hanya ada jika kekeringan melanda dan persediaan pangan di lumbung sudah habis. Tapi, bukankah negeri ini hujan hampir sepanjang tahun?
Tidak ada alasan lagi untuk merasa takut. Kita jangan menciptakan ketakutan kita sendiri. Pergi ke kota untuk jadi kuli padahal masih ada tanah untuk digarap. Ketakutan kita di sini berbeda dengan di sana. Di kota, ketakutan itu jauh lebih besar dibanding di desa karena perbedaan peradaban. Jangan jadikan suasana di sana menjadikan kita menjadi manusia yang tidak produktif dan hanya bergantung pada orang lain.
Ketakutan yang kita hadapi harus menjadikan kita lebih mandiri.

Malam Ke-4, Pendidikan Ketergantungan

6 Agustus 2010

Ketergantungan masyarakat kita akan peran pemerintah terlalu tinggi. Menurut saya. Jika kita perhatikan dari kuli panggul, buruh pabrik hingga guru dan mahasiswa senantiasa menuntut hak mereka _berupa materi_ untuk diberikan. Sepertinya mereka tidak menyadari ‘bentuk negeri’ ini. Saya tidak tahu sudahkan mereka membacara Undang-undang dasar mereka sendiri juga begitu banyak undang-undang yang menyertainya.

Negeri ini bukan negeri komunis, sistem politik yang kita anut adalah sekuler-kapitalisme. Bukan saatnya lagi selalu mengantungkan diri pada negara. Bagi masyarakat modern saat ini kemandirian adalah kunci hidup menjalani kompetisi global. China saja sudah mulai membuka diri bagi kapitalisme global mengapa kita masih terus mempertahankan sikap terjajah _mengemis hingga ke Istana Negara.

Negeri ini begitu kaya, so kenapa kita tidak memanfaatkan kekayaan yang telah kita terima ini. Saya menulis ini karena merasa prihatin dengan sikap guru-guru di madrasah yang menuntut kesetaraan dengan sekolah umum. Mereka bahkan ramai-ramai berdemontrasi ke ibu kota untuk menuntut penyetaraan dalam hal kebijakan. Saya pikir, modal pendidikan di negeri ini bukan uang tapi alam sekitar yang kaya raya. Bukankah sekolah dibentuk untuk mengolah alam ini, so jadikanlah alam ini sebagai laboratorium kehidupan tempat kita belajar.

Jika pemerintah tidak memberi uang bangunan sekolah, ya belajar bisa dilakukan di tengah sawah atau rumah ibadah. Itu saya lakukan. Tempat belajar saya adalah kebun, sawah, rumah ibadah dan tentu saja rumah. Alloh telah memberikan petunjuk begitu gamblang tentang arti penting belajar mengolah potensi alam. Saya pikir pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang bisa mengikuti ritme alam ini bukan pendidikan yang statis dan tidak praktis.

Malam Ke-3

5 Agustus 2010

Terkadang hidup haruslah menggunakan logika. Logikalah yang membawa kita pada keindahan perasaan kita yang dianugerahkan Alloh SWT pada setiap hamba-Nya.

Pada suatu kesempatan saya dan teman-teman kumpul bareng dalam rangka menghadiri acara pernikahan salah satu teman kita. Teman kita itu nikah sama gadis yang sudah siap menjadi istrinya dan ‘meninggalkan’ pacarnya yang lain karena tidak siap diajak untuk menikah. Kami semua salut pada mantan pacarnya yang bisa menerima pernikahan mantan kekasih prianya ini. Bahkan, dia meghadiri pernikahan itu bersama kami.

Lucunya, mantan pacar temanku yang menikah ini ternyata disukai juga oleh temanku yang lain. Ya, simpelnya gadis yang satu ini ‘diperebutkan’ oleh sesama teman saya. Saya sendiri kurang tahu apa daya tarik gadis ini dibandingkan dengan yang lain. Jika dilihat sekilas dia tidak jauh berbeda dengan yang lain.

Saya bisa menyimpulkan kenapa banyak pria yang suka padanya. Kepribadian. Kepribadian seseorang ternyata bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi lawan jenis bahkan sesama jenisnya. Sekali logika juga yang dipakai dalam bercinta. Jika anda menyenangkan hati saya, maka mari menikah jika tidak ya saya cari yang lain atau sekedar jadi pacar saja.

Malam Ke-2

1 Agustus 2010, jam 10 malam

Ada semacam degradasi moral sebagai akibat dari keterpurukan manusia. Baru tadi sore kulihat seorang ayah menampar pipi anaknya yang baru berumur 1 tahun. Air mata mengucur dari balik kelopak matanya.

Secar sepintas, kulihat semua itu hanylah ekspresi kekesalan seorang manusia. Namun, tahukah kamu bahwa tekanan hidup membuat manusia lebih sadis dibandingkan harimau di hutan belantara.

Manusia terkadang seperti serigala yang memangsa domba-domba yang lemah. Mereka lapar akan kekuasaan dan hasrat kenikmatan. Semua itu telah menggelapkan mata hati manusia. Miris.

Sejenak kurenungi bahwa ternyata masih ada manusia tidak beradab seperti zaman Mesir kuno. Manusia layaknya budak belian yang bisa disiksa begitu saja. Ketika orang tua rela menyiksa bahkan membunuh anaknya, bukankah itu hanya ada dizaman jahiliyah? Yang aku tahu selama ini, Abraham Lincoln sudah berusaha keras menghapus perbudakan di tanah Amerika tetapi masih ada perbudakan di depan mataku!

Sekarang aku mulai berpikir dan mengakui bahwa populasi manusia memang harus dibatasi. Bumi ini sudah terlalu sesak sehingga harga makanan pun melambung setinggi-tingginya karena banyak orang yang ingin makan tapi tidak mau menanam padi atau gandum. Sekarang, manusia hanya mencari uang untuk dimakan maka ketika uang tidak ada anak sendiri yang mereka makan. Sadarkah kita bahwa alam ini menyediakan harta yang berlimpah untuk sekedar mengganjal perut. Hei, ini bukan padang pasir. Jika kau mau menanam sebutir padi maka kau akan mendapatkan sebulir padi.

Kembali kepada bagaimana cara berpikir kita, apakah kita masih terbelenggu oleh sikap pemalas kita atau maukah menjadi manusia yang bisa memanfaatkan potensi alam ini dengan maksimal. Aku tidak setuju dengan teori kemiskinan dimana uang sebagai standar penghasilan. Belenggu pemikiran inilah yang membuat hidup kita tidak produktif bahkan cenderung mengabaikan arti hidup itu sendiri.

Jika tidak sapi maka ada kerbau. Jika tidak ada kerbau maka ada domba. Jika tidak ada domba maka ada kambing, kelinci, ayam, kalkun bahkan masih ada burung pipit. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk kelaparan. Justru ketergantungan kita pada manusia telah mengecoh kita untuk menyandarkan hidup ini pada alam.

Tahukah kau kawan suku Mentawai di pedalaman Sumatera? Mereka menyandarkan hidupnya pada alam dan tak pernah ada kata kelaparan. Justru, kelaparan ada di belantara kota Jakarta yang tanahnya sudah ditanami beton dan besi baja. Kelaparan ada di tanah yang tidak produktif. Kelaparan tidak pantas di tengah tanah subur seperti pulau Jawa.

Lalu, manusia macam apakah kita ketika urusan perut merubah keharmonisan rumah tangga? Padahal cinta tidak harus kalah oleh kepentingan perut semata. Justru, dengan cinta tanah ini menjadi subur. Cinta akan tanaman, hewan dan tetangga-tetangga kita. Omong kosong jika kita berteriak tentang kecintaan kita pada tanah air. Sejak kapan kita menjadikan tanah ini sebagai teman hidupmu?

Aku sering beradu pendapat tentang perbaikan nasib petani dan ketersediaan pangan di kampus. Ketika aku kembali ke desa dan memperhatikan ternyata semua itu dikembalikan kepada para petani. Sejauh mana kesungguhan kita menjadikan tanah ini sebagai lahan subur.