Senin, 25 Juli 2011

Malam Ke-2

1 Agustus 2010, jam 10 malam

Ada semacam degradasi moral sebagai akibat dari keterpurukan manusia. Baru tadi sore kulihat seorang ayah menampar pipi anaknya yang baru berumur 1 tahun. Air mata mengucur dari balik kelopak matanya.

Secar sepintas, kulihat semua itu hanylah ekspresi kekesalan seorang manusia. Namun, tahukah kamu bahwa tekanan hidup membuat manusia lebih sadis dibandingkan harimau di hutan belantara.

Manusia terkadang seperti serigala yang memangsa domba-domba yang lemah. Mereka lapar akan kekuasaan dan hasrat kenikmatan. Semua itu telah menggelapkan mata hati manusia. Miris.

Sejenak kurenungi bahwa ternyata masih ada manusia tidak beradab seperti zaman Mesir kuno. Manusia layaknya budak belian yang bisa disiksa begitu saja. Ketika orang tua rela menyiksa bahkan membunuh anaknya, bukankah itu hanya ada dizaman jahiliyah? Yang aku tahu selama ini, Abraham Lincoln sudah berusaha keras menghapus perbudakan di tanah Amerika tetapi masih ada perbudakan di depan mataku!

Sekarang aku mulai berpikir dan mengakui bahwa populasi manusia memang harus dibatasi. Bumi ini sudah terlalu sesak sehingga harga makanan pun melambung setinggi-tingginya karena banyak orang yang ingin makan tapi tidak mau menanam padi atau gandum. Sekarang, manusia hanya mencari uang untuk dimakan maka ketika uang tidak ada anak sendiri yang mereka makan. Sadarkah kita bahwa alam ini menyediakan harta yang berlimpah untuk sekedar mengganjal perut. Hei, ini bukan padang pasir. Jika kau mau menanam sebutir padi maka kau akan mendapatkan sebulir padi.

Kembali kepada bagaimana cara berpikir kita, apakah kita masih terbelenggu oleh sikap pemalas kita atau maukah menjadi manusia yang bisa memanfaatkan potensi alam ini dengan maksimal. Aku tidak setuju dengan teori kemiskinan dimana uang sebagai standar penghasilan. Belenggu pemikiran inilah yang membuat hidup kita tidak produktif bahkan cenderung mengabaikan arti hidup itu sendiri.

Jika tidak sapi maka ada kerbau. Jika tidak ada kerbau maka ada domba. Jika tidak ada domba maka ada kambing, kelinci, ayam, kalkun bahkan masih ada burung pipit. Tidak ada alasan lagi bagi kita untuk kelaparan. Justru ketergantungan kita pada manusia telah mengecoh kita untuk menyandarkan hidup ini pada alam.

Tahukah kau kawan suku Mentawai di pedalaman Sumatera? Mereka menyandarkan hidupnya pada alam dan tak pernah ada kata kelaparan. Justru, kelaparan ada di belantara kota Jakarta yang tanahnya sudah ditanami beton dan besi baja. Kelaparan ada di tanah yang tidak produktif. Kelaparan tidak pantas di tengah tanah subur seperti pulau Jawa.

Lalu, manusia macam apakah kita ketika urusan perut merubah keharmonisan rumah tangga? Padahal cinta tidak harus kalah oleh kepentingan perut semata. Justru, dengan cinta tanah ini menjadi subur. Cinta akan tanaman, hewan dan tetangga-tetangga kita. Omong kosong jika kita berteriak tentang kecintaan kita pada tanah air. Sejak kapan kita menjadikan tanah ini sebagai teman hidupmu?

Aku sering beradu pendapat tentang perbaikan nasib petani dan ketersediaan pangan di kampus. Ketika aku kembali ke desa dan memperhatikan ternyata semua itu dikembalikan kepada para petani. Sejauh mana kesungguhan kita menjadikan tanah ini sebagai lahan subur.

Tidak ada komentar: