Jumat, 06 Februari 2009

Pemilu dan Nasib Rakyat


Pemilu Tidak Menjadi Solusi atas Segala Krisis yang Terjadi

Memasuki tahun 2009, rakyat Indonesia dihadapkan pada situasi yang serba sulit. Realitas politik yang terjadi tidak dapat menjadi obat penawar bagi kemelut bangsa ini. Kondisi sosial, politik dan ekonomi yang belum kunjung baik membuat rakyat menggantungkan harapan pada elit politik yang senantiasa hadir sebagai ‘pahlawan kesiangan’ dengan janji-janji kosong yang terkadang tidak masuk diakal. Saya pikir, wajar jika Alloh SWT tidak kunjung memberikan pertolongannya pada kita walaupun kita berdoa siang-malam jikalau solusi yang kita gunakan bukan solusi dari Alloh SWT. Masyarakat cenderung berharap pada manusia sebagai makhluq Alloh sehingga lambat-laun menjauhkannya dari Alloh SWT.
Ketika masyarakat memiliki kebingungan dengan krisis yang terjadi maka sebagian diantara mereka menjadikan momen Pemilu (Pemilihan Umum) atau Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) sebagai ajang ‘coba-coba’. Masyarakat berharap dengan pergantian kepemimpinan akan terbentuk suasana masyarakat yang lebih baik karena adanya pergantian orang. Padahal tidak menjadi jaminan ketika adanya pergantian pemimpin akan tercipta kondisi yang berbeda secara signifikan karena pada dasarnya tidak terjadi pergantian sistem kehidupan. Perputaran waktu menunjukan kepada kita bahwa krisis yang terjadi akan berlarut-larut ketika setiap individu dalam umat ini masih mengharapkan pertolongan dari sosok yang selama ini dielu-elukan. Bangsa Indonesia bisa bercermin pada era Reformasi ’98 yang menelan banyak korban, sudah beberapa kali terjadi pergantian kepemimpinan (baik nasional mapun daerah) namun hal itu tidak menjadi jaminan akan adanya perubahan bagi nasib rakyat.
Ketika seringnya Pemilu atau Pilkada justru semakin banyak menimbulkan efek negatif bagi realitas sosial politik di sekitarnya. Adanya sosok yang dijagokan dalam Pemilu dan Pilkada maka akan ada dua atau lebih komunitas pendukung yang saling jotos karena adanya perbedaan kepentingan. Pilkada Maluku Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara dan banyak lagi contoh kongkrit dimana pemilu menelan korban yakni kesemrawutan kondisi sosial. Ketika terjadi konflik di tengah masyarakat maka berpengaruh pada dinamika sosial yang lain seperti banyak orang yang enggan berjualan karena takut toko mereka jadi bulan-bulanan massa. Begitu pula Pemerintah lebih sibuk mengurusi masalah perebutan keuasaan dalam Pemilu atau Pilkada ketimbang mengkonsentrasikan diri memperbaiki krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Krisis ekonomi sebagai pemicu utama segala konflik yang terjadi seperti sengaja dibiarkan barlarut-larut padahal sebenarnya rakyat banyak berharap akan ada perbaikan kondisi ekonomi ketika terjadi pergantian kekuasaan. Namun, pergantian kekuasaan hanyalah memicu kesengsaraan selanjutnya karena ternyata devisa negara yang ada habis terpakai untuk ‘pesta demokrasi’ (dari namanya saja jelas tindakan hura-hura). Sekitar 1,6 triliun rupiah habis terpakai untuk mendanai pilkada di berbagai daerah padahal lebih baik dipakai untuk mendanai sektor pendidikan yang semakin buruk (Al-Wa’ie, Januari 2009). Pemerintah sering berkilah dalam masalah defisitnya devisa negara tetapi ternyata uang rakyat yang ada tidak digunakan untuk hal yang lebih prioritas tetapi dialihkan untuk sesuatu yang sepertinya lebih penting padahal tidak begitu penting. Pemilu atau pilkada hanya menjadi ajang untuk unjuk gigi akan kehebatan masing-masing calon penguasa. Jadi, kalau krisis ini bisa selesai tanpa harus ada Pemilu atau Pilkada, kenapa harus ada Pemilu atau Pilkada?
Pada awalnya, kaum Reformis menganggap Pemilu sebagai pintu gerbang menuju perbaikan nasib bangsa _terutama krisis ekonomi_ tetapi ternyata perkiraan tersebut meleset karena krisis semakin menjadi-jadi setelah adanya pergantian kekuasaan bahkan hingga ke tingkat daerah. Mereka justru memalingkan masalah ekonomi _sebagai masalah utama_ menjadi masalah krisis kepemimpinan. Opini ini membawa masyarakat menjadi lupa akan problem mereka dan cenderung menuruti kemauan kaum Reformis. Pada faktanya, ketika terjadi pergantian kekuasaan, penguasa yang baru justru memperburuk masalah ekonomi dengan menjual aset bangsa kepada Kapitalis asing dan menyerahkan nasib bangsa ini kepada IMF (Lembaga Moneter Internasional) dan Bank Dunia. Hasilnya, bangsa ini telah masuk ke dalam ‘perangkap laba-laba’ yang lengket dan sulit untuk keluar kecuali dengan menghancurkan jaring tersebut! Selain itu, setelah pilkada digelar sebagai imbas dari otonomi daerah ternyata Pemerintah Daerah ada yang tidak sejalan dengan Pemerintah Pusat. Misalnya, ada Pemerintah yang menolak memberikan dana kompensasi kenaikan harga BBM dari pemerintah Pusat dengan alasan memanjakan rakyat. Padahal itu terjadi karena Pemerintah Daerah berbeda partai politik dengan Pemerintah Pusat sehingga berbeda pula kepentingan mereka.
Pemilu terbukti tidak bisa menjadi solusi atas segala krisis yang ada karena menjadikan demokrasi sebagai acuan sistem politiknya. Demokrasi menjadikan manusia berani membuat aturan sendiri diatas aturan Alloh SWT yang agung. Hanya satu hal yang akan menjadi solusi yakni marilah kita menjalankan segala aturan Islam sebagai bentuk dari pertolongan Alloh atas do’a-do’a yang senantiasa kita panjatkan. Umat Islam jangan menjadi orang yang ‘rajin berdoa’ untuk meminta datangnya keajaiban tetapi tidak mau menjalankan konsep kehidupan Islam sebagai jawaban atas doa’-doa’ itu. Umat ini harus yakin bahwa Alloh sudah mengabulkan do’a mereka yakni dengan banyaknya konsep-konsep Islami yang ditawarkan para da’i. Umat ini harus malu ketika masih bergantung pada manusia sebagai penuntun mereka untuk keluar dari krisis ini sehingga agama ini hanya menjadi komoditas politik saja. Wahai kaum Muslimin, Alloh masih ada! Maka janganlah kita berputus asa dari pertolongan Alloh! Perotolongannya telah datang yakni ketika ketika mau membuka hati dan pikiran kita untuk ridlo diatur oleh aturan-Nya!
“Sesungguhnya penolongmu hanyalah Alloh, Rosul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan solat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Alloh). Dan barang siapa menjadikan Alloh, Rosul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Alloh itulah yang menang. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) diantara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang –orang kafir. Dan bertaqwalah kepada alloh jika kamu orang-orang beriman.” (Al-Maidah; 55-57)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Maidah; 51)

Tidak ada komentar: