Selasa, 28 April 2009

Apakah Pemilu Kali ini Buruk?


Pemilu 2009 merupakan Pemilu dengan banyak kejanggalan baik tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) bahkan hingga kesalahan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Masih banyak hal yang perlu dikritisi sehingga banyak kalangan yang ramai-ramai mengadu ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Entah apa motifasi di balik semua bentuk pengaduan tersebut. Apakah karena mereka mengalami kekalahan atau sekedar cari muka di hadapan rakyat?
Ada banyak kemungkinan yang menyebabkan begitu buruknya Pemilu kali ini. Masalah administrasi yang kacau, keamanan yang tidak terjaga bahkan kekurangcakapan petugas dalam mengelola proses pemungutan suara menjadi kendala yang sulit untuk dihindari ketika Pemilu berlangsung. Kemungkinan tersebut bisa berasal dari petugas sendiri atau karena kondisi sosial masyarakat yang kurang bersahabat.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kejanggalan ini pada petugas atau Pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu. Tetapi ini menjadi kesalahan besar rakyat Indonesia ketika masih mendukung konsep ini untuk dijalankan. Padahal kita tahu, konsep pemilu seperti ini sungguh sangat tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidak efisienan Pemilu ini lahir dari konsep dasar atau cara pandang masyarakat terhadap ‘betapa pentingnya memilih seorang penguasa’.
Masyarakat memandang bahwa sangat penting memilih penguasa yang akan mengurus segala urusannya. Cara pandang ini memotifasi masyarakat untuk bersegera menggelar Pemilu sebagai sarana untuk mengangkat seorang Penguasa. Masyarakat menyadari bahwa tidak mungkin ada sebuah negara tanpa pemimpin yang merepresentasikan rakyat. Namun, cara pandang seperti ini masih terlalu sempit sehingga mereka melihat bahwa pemimpin yang dipilih oleh rakyat-lah yang sah secara moral. Padahal belum tentu calon legislatif atau eksekutif yang mereka pilih merepresantikan aspirasi mereka.
Banyak kalangan menganggap bahwa Pemilu merupakan acara ‘sakral’ yang wajib digelar dalam rangka menentukan arah pembangunan negeri ini. Jika kita mencermati, cara untuk memilih penguasa tidak harus melalui Pemilu. Karena saya tidak melihat benang merah yang jelas antara Pemilu dengan kegiatan pembangunan negeri ini. Siapa pun yang terpilih, arah kebijakan pembangunan justru tidaklah berpihak pada rakyat malah yang terjadi adalah pembangunan yang menguntungkan pengusaha dan para kapitalis. Apakah negara monarki pembangunannya terhenti karena tidak ada Pemilu?
Dalam era demokrasi saat ini, ada anggapan umum bahwa ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ sehingga mereka menganggap bahwa penguasa yang terpilih dalam Pemilu adalah representasi kepentingan rakyat. Benarkah demikian? Memang benar, rakyatlah sejatinya yang berkuasa namun fakta membuktikan ternyata janji kosong Pemilu tidak selalu ditepati pada kandidat Pemilu. Anggapan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ ini menjadi hal yang keliru ketika masyarakat melihat dari sisi praktisnya saja dan tidak menilik sisi substansinya. Rakyat yang memiliki kekuasaaan hanya mewakilkan urusannnya kepada orang yang dianggap mampu untuk menjalankannya. Apakah proses ‘pewakilan urusan’ ini harus selalu melalui Pemilu yang mahal?
Hal penting yang harus dicatat adalah bahwa kekuasaan ini merupakan amanat yang harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, penguasa yang terpilih akan menjalankan tugasnya dengan baik dan senantiasa berorientasi untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Kesadaran ini menjadi motif seseorang untuk mencalonkan diri menjadi penguasa bukan karena kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.
Ketika seluruh rakyat sedang tenggelam dalam riuh rendahnya ‘pesta demokrasi’ kali ini bisa jadi begitu banyak kecurangan yang terjadi tidak kita ketahui. Opini media yang ada cenderung mengangkat Pemilu sebagai tema utama. Kita tidak tahu jika kekayaan negeri ini dipreteli oleh orang asing yang menginginkan negeri ini hancur secara perlahan. Maka, sudah seharusnya rakyat negeri ini menyadarinya dan jangan menjadikan Pemilu ini sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kesejahteraan. Buktinya, sudah sepuluh kali Pemilu diselenggarakan kesejahteraan tidak kunjung tiba.

Tidak ada komentar: