Rabu, 01 April 2009

Ketika Pemilu Dijadikan Harapan untuk Kesejahteraan Masyarakat

Ada orang yang mengatakan bahwa kesejahteraan itu bersifat relatif dan sulit untuk diukur. Seberapa besar uang yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dikatakan bahwa orang tersebut sejahtera? Memang, ada orang yang sudah merasa hidupnya sejahtera karena dia merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Ada juga yang selalu merasa kekurangan walaupun sudah cukup harta yang dia miliki. Entah dimana letak kesejahteraan yang dimaksud jika masih ada orang yang merasa tidak cukup dengan segala kebutuhannya. Kalau begitu, kata kuncinya adalah ‘kebutuhan’ yang mendasari ukuran kesejahteraan seseorang.
Seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila sudah terpenuhi segala kebutuhannya _bukan keinginannya_. Kebutuhan dasar seseorang mencakup pada 6 hal yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Jika kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi maka layak orang tersebut dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US$ 2 perhari seperti standar PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Seberapa banyak atau sedikitnya upah seseorang per hari tidak akan menjadi ukuran kesejehteraan jika dia belum terpenuhi 6 aspek tersebut. Misalnya, seorang pegawai dengan gaji yang tinggi tetap tidak akan merasa sejahtera karena keamanannya terancam. Begitu pun seorang petani dengan penghasilan rendah akan merasa sejahtera karena pendidikannya terpenuhi serta kesehatannya terjaga, jika dia sakit mudah untuk memperoleh pelayanan dari rumah sakit atau tenaga medis.
Berangkat dari pemahaman dasar ini maka lahirlah konsep kesejahteraan menurut ekonomi Kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, kebutuhan seseorang disamakan dengan keinginan sehingga ukuran kesejahteraan pun menjadi buram. Bahkan konsep ini cenderung menggelembung seiring dengan kaidah ‘kebutuhan manusia tidak terbatas’. Kalau begitu, manusia tidak akan pernah sejahtera karena kebutuhannya (sama dengan keinginannya) senantiasa terus bertambah dan tidak terbatas. Dalam ekonomi kapitalisme tidak ada pembedaan antara kebutuhan dan keinginan sehingga akan senatiasa tidak ada kejelasan batasan diantara keduanya. Dalam ekonomi Islam ada pembedaan diantara kebutuhan dan keinginan sehingga ukuran kesejahtaraan adalah jika seseorang sudah terpenuhi kebutuhannya.

Saat ini begitu banyak calon legislatif ataupun calon presiden dari berbagai partai yang menawarkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dengan harapan dia terpilih pada Pemilu tahun ini. asumsi ini menggiring masyaraakt untuk senantiasa ‘coba-coba’ daalm berpolitik karena hampir setiap caleg atau capres menawarkan konsep yang sama seperti sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis dll. Namun, apakah cukup dengan itu kesejahteraan itu dapat tercapai? Dalam era demokrasi seperti saat ini konsep kesejahteraan yang ditawarkan tidaklah baku artinya senantiasa berubah-ubah maka konstituen pun senantiasa memiliki perubahan cara pandang ketika menentukan pilihannya.
Apabila seorang calon penguasa terpilih dan ternyata rakyat tidak kunjung sejahtera maka Pemilu selanjutnya rakyat akan memilih calon penguasa yang lain, kejadian ini terjadi berulang-ulang. Keadaan ini adalah buah dari tidak bakunya sistem hidup yang ada sehingga setiap orang senantiasa memberikan teori masing-masing yang belum tentu berhasil ketika diterapkan. Inilah bentuk dari kesalahan demokrasi ketika ketika berharap kesejahteraan padanya. Demokrasi memberikan kewenangan bagi setiap orang untuk mengemukakan teori tentang cara mengatur urusan masyarakat termasuk bidang ekonomi. Namun, teori tersebut akan senantiasa berubah tergantung pada siapa yang berkuasa.
Sistem kehidupan Islam merupakan aturan yang baku dari Alloh SWT dan Rosul-Nya yang telah memberikan pedoman dimana manusia tinggal menjalankannya. Dia-lah yang Maha Tahu apa kebutuhan manusia dan bagaimana cara memenuhi kebutuhannya tersebut. Ketika Islam berkuasa maka tidak ada perubahan dasar aturan kehidupan yang senantiasa berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunah. Apabila terjadi perbedaan pendapat maka pendapat tersebut lahir dari metode penggalian hukum dengan standar yang baku sehingga setiap pendapat adalah pedapat Islami. Dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga rakyat (dewan) berhak membuat aturan hidup. Dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada syara’ dimana setiap orang tidak punya hak untuk membuat aturan karena sudah ada dari Alloh SWT.

Pemilu untuk Menuai Kesejahteraan?
Masihkan kita berharap pada Pemilu untuk menuai kesejahteraan? Padahal pemimpin yang telah terpilih tidak menerapkan aturan Islam sebagai kewajiban setiap individu Muslim. Sebaliknya, kekayaan alam negeri ini dijual kepada para Kapitalis untuk dieksploitasi padahal kekayaan itu hak rakyat yang harus digunakan untuk kepentingan rakyat. Legislatif yang terpilih telah menelorkan undang-undang yang justru mendzolimi rakyat seperti UU Pornografi, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Minyak dan Gas, UU Sumber Daya Air dll. Udang-undang tersebut dibuat oleh wakil rakyat dimana isinya lebih berpihak pada golongan tertentu dan jauh dari tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.
Para wakil rakyat dan pemerintah akan senantiasa berdebat tentang bagaimana cara untuk mengatur urusan rakyat sehingga rakyat sejahtera. Padahal jika mereka mau sudah ada aturan Islam yang baku dari sang Maha Pencipta. Mereka adalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan sehingga pemikiran mereka terbatas dan tidak bisa menjangkau besarnya urusan manusia. Pengharapan kita pada mereka adalah pengharapan semu bahkan bisa mengguncang akidah kita karena pengharapan hanya pada Alloh SWT. Dia telah menjawab harapan kita yakni dengan memberikan aturan Islam sebagai pedoman untuk mencapai kesejahteraan yang kita inginkan. Aqidah kita mengharuskan untuk menjalankan Islam sebagai aturan hidup sehingga akan banyak hikmah yang kita rasakan yakni adanya keteraturan hidup. Kehidupan yang teratur akan melahirkan kondisi bangsa yang aman, nyaman dan tercapainya kemakmuran yang sejati.

Penutup: Tidak Pernah Ada Perasaan Cukup….
Sikap masyarakat Kapitalis saat ini tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki karena tidak memiliki standar kesejahteraan yang jelas. Ideologi kapitalisme membuat manusia berikap tamak terhadap harta yang dimiliki bahkan cenderung bersifat konsumtif. Kalau begitu, sampai kapan pun manusia akan senantiasa merasa kurang dan selalu merasa ingin lebih. Keinginan ini yang mendorong mereka untuk berharap pada penguasa yang ada dan melupakan pengharapan mereka pada Alloh SWT.
Islam mengajarkan pada kita untuk bersikap qonaah artinya merasa cukup dengan kondisi yang ada jika semua kebutuhannya telah terpenuhi sembari manjalankan setiap perintah Alloh yang diturunkan padanya. Sikap seperti inilah yang mendorong orang untuk senantiasa bertaqwa kepada Alloh. Penguasa pun akan memiliki tanggung jawab untuk melayani umat karena itu adalah kewajiban yang harus dia penuhi. Wajar, ketika penguasa saat ini enggan untuk melayani rakyat karena mereka berkuasa bukan atas dasar keimanan pada Alloh tetpai karena kepentingan diri yang tidak pernah merasa cukup.

Jatinangor, April 2009
Muhammad Yusuf Ansori

Tidak ada komentar: