Sabtu, 25 Oktober 2008

Melawan Budaya Pop Kapitalisme




Hingga saat ini kapitalisme menjelma menjadi sebuah masyarakat dengan ciri yang khas. Ideologi ini seperti gurita yang menjulurkan tentakelnya ke setiap penjuru dunia dengan berbagai cara melalui media masa, pendidikan, intimidasi ekonomi dan gerakan politik. Ide sekulerisme sebagai pijakannya membuat orang memiliki karakter yang rendahnya melebihi bintang (QS. Al-Furqon ayat 44).
Karakter yang jelas terlihat dari masyarakat kapitalis adalah konsumtif. Konsumerisme menjadi senjata ampuh bagi roda pergerakan ekonomi Kapitalisme. Settiap invidu ‘dipaksa’ untuk bersikap konsumtif walaupun harus menggunakan uang pinjaman dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak membedakan antara kebutuhan dengan keinginan sehingga mereka cenderung mengikuti hawa nafsu dibandingakn logika. Akibatnya, banyak penduduk yang terlilit utang kepada lambaga keuangan seperti yang saat ini terjadi di Amerika (Kapitalisme di Ujung Tanduk, Adnan Khan, 2008).
Bagi masyarakat kapitalisme, memenuhi keinginan hawa nafsu adalah bagian dari kebutuhan yang harus dipenuhi tanpa memandang norma-norma agama. Budaya hedonistik menjadi sesuatu yang biasa dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi. Sex bebas dan hura-hura saat ini menjadi budaya anak muda dengan alasan hak azasi tanpa harus diganggu.
Jangan aneh jikalau banyak diantara kita yang bersikap individualistik sehingga tidak saling mengenal dan tidak peduli nasib sesama muslim. Individualisme sudah menjadi budaya masyarakat kapitalisme karena mereka menganggap masyarakat ini terdiri dari individu-individu yang terpisah. Padahal masyarakat merupakan satu kesatuan yang integral dimana setiap individu saling berinteraksi dan saling peduli. Dalam Islam, masyarakat seperti satu tubuh yang apabila salah satu diantara mereka merasakan sakit maka bagian tubuh yang lain pun merasakan hal yang sama.
Kemiskinan di sudut kota adalah buah dari ketamakan dan keserakahan para kapitalis yang menghisap darah rakyat jelata. Gedung-gedung pencakar langit diantara perumahan kumuh menjadi simbol keserakahan mereka. Semua itu terjadi karena sistem ekonomi kapitalisme yang semakin memperdalam jurang antara si kaya dengan si miskin akibat pola distribusi kekayaan yang tidak merata.
Saat ini pragmatisme politik sudah menjadi tren diantara para politikus dalam meraih kekuasaan. Mereka tidak segan-segan untuk sogok sana sogok sini demi secuil kekuasaan seaat. Sikap ini berpengaruh luas pada sebagian besar masyarakat dalam menyikapi kehidupan. Orang menganggap semua hal yang dilakukan hanya untuk mnengambil manfaatnya saja padahal Islam mengajarkan paada kita bahwa hidup ini untuk ibadah kepada Alloh. Bekerja, bermasyarakat, bernegara bahkan berkeluarga adalah wujud ibadah kepada Alloh SWT tidak sekedar mencari kebahagiaan sesaat. Bagi seorang muslim parameter kabahagiaan ini adalah ridlo Alloh SWT.
Ada banyak orang menganggap bahwa apapun sama selama dia mengajarkan kebaikan. Pluralisme agama menjadi tren mas kini sehingga merasa tidak percaya diri dengan ke-Islamannya. Jangankan bersedia untuk menjalankan semua syariatnya, justru mereka menolak diterapkannya syariat Islam dengan alasan toleransi beragama. Menurut anggapan mereka syariat Islam melanggar Hak Azasi Manusia karena tidak menghargai manusia sebagaimana mestinya. Begitupun demokrasi menjadi hal yang dijunjung tinggi dibandingkan keimanan kepada Alloh SWT dengan menjalankan semua perintahnya dalam berbagai aspek.
Sudah saatnya kita meninggalkan semua serangan pemikiran sesat itu dengan menjadikan pemikiran Islam sebagai ‘lawan tandingnya’. Insya Alloh, hanya dengan pemikiran Islam semua itu dapat diakhiri.

Tidak ada komentar: