Selasa, 28 April 2009

Kenapa Malu ‘Menjual Syari’ah’?

Ada banyak ungkapan yang disampaikan oleh para politisi kita ketika mereka didesak untuk mengopinikan syari’ah di tengah keringnya pemikiran Islam dalam kancah politik negeri ini. Ada banyak alasan pula ketika mereka ramai-ramai untuk menolak mengopinikan syari’ah baik di parlemen, mimbar ilmiah atau dalam pertemuan politis lainnya. Hal yang memilukan sekaligus membingungkan adanya ungkapan dari politisi Muslim bahwa ‘jualan syariah sudah tidak laku lagi’. Banyak faktor yang mendasari keluarnya ungkapan seperti itu, antara lain:
Pertama, keimanan yang lemah menjadi penghalang seseorang untuk mengatakan kebenaran. Pertimbangan akal yang dimilikinya telah mengalahkan perintah Alloh SWT untuk menyampaikan kebenaran di tengah-tengah umat. Alasan syar’i yang seharusnya mereka turuti seakan tidak menjadi motif utama dalam berpolitik tetapi kenikmatan duniawi menggelapkan hati dan pikiran mereka. Apalagi jika syetan selalu menggerayangi hati dan pikiran mereka di tengah riuh-rendahnya suara kebatilan.
Kedua, sekulerisme telah merasuki pikiran umat ini, tidak terkecuali para ulama, sehingga arah politik yang dibangun oleh politisi Muslim pun teracuni oleh cara pandang sekuler. Mereka enggan untuk membawa isu syari’ah dalam perpolitikan dalam negeri yang notabene memisahkan agama dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, mereka memahami bahwa untuk meraih dukungan umat tidak harus mengopinikan syari’ah. Pemikiran ini membawa banyak partai berbasis Islam menjadi partai terbuka yang telah luntur ciri ke-Islamannya. Padahal, untuk sebuah perubahan harus ada perbenturan pemikiran sehingga tercipta opini umum tentang syari’ah di tengah-tengah umat. Dengan begitu, umat pun akan dapat membedakan antara yang haq dan bathil karena mereka masih mempunyai akidah walaupun lemah.
Keempat, dakwah yang dilakukan oleh para politisi Muslim tidak mengikuti metode dakwah Rosululloh SAW. Metode dakwah tersebut adalah pembinaan umat dan berinteraksi dengan umat untuk membentuk pemikiran Islam sebagai opini umum. Setelah itu, penyerahan kekuasaan dari pemerintah yang ada akan dengan mudah dilakukan karena umat sudah tidak setuju dengan demokrasi yang sedang berjalan dan menghendaki ditegakkannya syari’ah Islam.
Mungkin masih banyak faktor yang menghalangi para politisi Muslim untuk menyuarakan syari’ah dan Khilafah. Tetapi, yang pasti kita jangan terpengaruh oleh opini miring untuk menyudutkan para pengemban dakwah yang ‘menjual syari’ah dan Khilafah’. Tetaplah konsisten untuk menyuarakan kebenaran!

Apakah Pemilu Kali ini Buruk?


Pemilu 2009 merupakan Pemilu dengan banyak kejanggalan baik tingkat TPS (Tempat Pemungutan Suara) bahkan hingga kesalahan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam menetapkan Daftar Pemilih Tetap. Masih banyak hal yang perlu dikritisi sehingga banyak kalangan yang ramai-ramai mengadu ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Entah apa motifasi di balik semua bentuk pengaduan tersebut. Apakah karena mereka mengalami kekalahan atau sekedar cari muka di hadapan rakyat?
Ada banyak kemungkinan yang menyebabkan begitu buruknya Pemilu kali ini. Masalah administrasi yang kacau, keamanan yang tidak terjaga bahkan kekurangcakapan petugas dalam mengelola proses pemungutan suara menjadi kendala yang sulit untuk dihindari ketika Pemilu berlangsung. Kemungkinan tersebut bisa berasal dari petugas sendiri atau karena kondisi sosial masyarakat yang kurang bersahabat.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kejanggalan ini pada petugas atau Pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu. Tetapi ini menjadi kesalahan besar rakyat Indonesia ketika masih mendukung konsep ini untuk dijalankan. Padahal kita tahu, konsep pemilu seperti ini sungguh sangat tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidak efisienan Pemilu ini lahir dari konsep dasar atau cara pandang masyarakat terhadap ‘betapa pentingnya memilih seorang penguasa’.
Masyarakat memandang bahwa sangat penting memilih penguasa yang akan mengurus segala urusannya. Cara pandang ini memotifasi masyarakat untuk bersegera menggelar Pemilu sebagai sarana untuk mengangkat seorang Penguasa. Masyarakat menyadari bahwa tidak mungkin ada sebuah negara tanpa pemimpin yang merepresentasikan rakyat. Namun, cara pandang seperti ini masih terlalu sempit sehingga mereka melihat bahwa pemimpin yang dipilih oleh rakyat-lah yang sah secara moral. Padahal belum tentu calon legislatif atau eksekutif yang mereka pilih merepresantikan aspirasi mereka.
Banyak kalangan menganggap bahwa Pemilu merupakan acara ‘sakral’ yang wajib digelar dalam rangka menentukan arah pembangunan negeri ini. Jika kita mencermati, cara untuk memilih penguasa tidak harus melalui Pemilu. Karena saya tidak melihat benang merah yang jelas antara Pemilu dengan kegiatan pembangunan negeri ini. Siapa pun yang terpilih, arah kebijakan pembangunan justru tidaklah berpihak pada rakyat malah yang terjadi adalah pembangunan yang menguntungkan pengusaha dan para kapitalis. Apakah negara monarki pembangunannya terhenti karena tidak ada Pemilu?
Dalam era demokrasi saat ini, ada anggapan umum bahwa ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ sehingga mereka menganggap bahwa penguasa yang terpilih dalam Pemilu adalah representasi kepentingan rakyat. Benarkah demikian? Memang benar, rakyatlah sejatinya yang berkuasa namun fakta membuktikan ternyata janji kosong Pemilu tidak selalu ditepati pada kandidat Pemilu. Anggapan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’ ini menjadi hal yang keliru ketika masyarakat melihat dari sisi praktisnya saja dan tidak menilik sisi substansinya. Rakyat yang memiliki kekuasaaan hanya mewakilkan urusannnya kepada orang yang dianggap mampu untuk menjalankannya. Apakah proses ‘pewakilan urusan’ ini harus selalu melalui Pemilu yang mahal?
Hal penting yang harus dicatat adalah bahwa kekuasaan ini merupakan amanat yang harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dengan begitu, penguasa yang terpilih akan menjalankan tugasnya dengan baik dan senantiasa berorientasi untuk mendahulukan kepentingan rakyat. Kesadaran ini menjadi motif seseorang untuk mencalonkan diri menjadi penguasa bukan karena kepentingan pribadi untuk meraup keuntungan semata.
Ketika seluruh rakyat sedang tenggelam dalam riuh rendahnya ‘pesta demokrasi’ kali ini bisa jadi begitu banyak kecurangan yang terjadi tidak kita ketahui. Opini media yang ada cenderung mengangkat Pemilu sebagai tema utama. Kita tidak tahu jika kekayaan negeri ini dipreteli oleh orang asing yang menginginkan negeri ini hancur secara perlahan. Maka, sudah seharusnya rakyat negeri ini menyadarinya dan jangan menjadikan Pemilu ini sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kesejahteraan. Buktinya, sudah sepuluh kali Pemilu diselenggarakan kesejahteraan tidak kunjung tiba.

Jumat, 17 April 2009

Euforia Kemenangan

Pemilu legislatif telah digelar, dan kita pun akan melihat hasilnya. Bagi peserta Pemilu, sudah menjadi konsekuensi jika harus menjadi pemenang atau pecundang. Namun, kemenangan yang diperoleh bukanlah seperti kemenangan di meja judi dimana ketika uang sudah di tangan bisa langsung pergi. Jika seorang caleg terpilih untuk menduduki kursi parlemen dan partai mengantongi suara terbanyak itu berarti sebuah cambukan bagi dirinya. Baginya, harus ada usaha maksimal untuk menjalankan segenap janji kampanye yang telah ‘terlanjur ‘ diteriakan.
Apabila kita mau mencermati, ternyata tidak sedikit angota dewan yang terpilih menggelar pesta untuk merayakan kemenangannya. Banyaknya modal yang telah dikeluarkan terasa ringan ketika kemenangan itu telah sampai pada dirinya. Padahal dia lupa bahwa masih banyak anak jalanan yang tidak makan karena tidak punya uang untuk membeli sebungkus nasi. Seharusnya dia hampiri para pengemis di tengah kota yang begitu berharap para penguasanya dapat memberinya selembar uang kertas.
Ketika para wartawan mengerumuni ‘sang pemenang’ maka dia akan tersenyum penuh dengan kebanggaan. Padahal dikemudian hari akan banyak masalah yang membuatnya kurang tidur dan tidak bisa tersenyum lagi. Krisis ekonomi yang terjadi diikuti oleh berbagai krisis yang sulit untuk diatasi menjadi agenda utama untuk segera diselesaikan. Walaupun mereka menawarkan sebuah janji untuk mengobati krisis ini. Mungkin, suatu saat nanti mereka akan tertegun melihat ribuan nyawa melayang akibat bencana alam yang tidak kunjung berhenti menghantui negeri ini.
Seharusnya mereka menangis ketika mereka tahu jika rakyat banyak memberinya kepercayaan untuk berkuasa. Beban yang ada di pundaknya akan dipertanggung jawabkan di hadapan rakyat. Lebih-lebih Alloh akan menanyakan setiap kebijakan yang akan diambilnya ketika dia menjabat nanti. Kursi panas yang akan didudukinya terasa tidak nyaman karena dia tahu sebenarnya uang rakyatlah yang sedang dia duduki.
Para anggota legislatif yang terpilih pun harus menyadari bahwa banyak rintangan yang akan menghadang kinerja mereka untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Uang panas bisa saja masuk ke rekeningnya dan terungkap oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sehingga mengantarkan dia masuk ke dalam penjara. Kalau sudah begitu, putuslah harapan untuk mengganti uang kampanye yang jumlahnya bisa menafkahi sebuah keluarga selama setahun.
Namun, dibalik euforia kemenangan ini ada juga para caleg yang menghampiri Rumah Sakit Jiwa untuk sekedar beristirahat atau menenangkan pikiran. Mereka tidak merasakan kemenangan yang dialami sauadaranya, tetapi hanya bisa melihatnya di televisi sambil berbaring di ranjang dan ditemani perawat yang telah dibayarnya dengan harga yang tidak murah. Mungkin, dia kelelahan karena terlalu capek kampanye atau tidak bisa mengembalikan uang kampanye yang dia dapatkan entah darimana.
Sebagai rakyat, kita hanya bisa mengelus dada karena ternyata jabatan itu adalah hal yang berat untuk ditanggung. Maka, jika tak mampu untuk menanggung resiko jangan mau kita seperti mereka.

Rabu, 01 April 2009

Ketika Pemilu Dijadikan Harapan untuk Kesejahteraan Masyarakat

Ada orang yang mengatakan bahwa kesejahteraan itu bersifat relatif dan sulit untuk diukur. Seberapa besar uang yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dikatakan bahwa orang tersebut sejahtera? Memang, ada orang yang sudah merasa hidupnya sejahtera karena dia merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Ada juga yang selalu merasa kekurangan walaupun sudah cukup harta yang dia miliki. Entah dimana letak kesejahteraan yang dimaksud jika masih ada orang yang merasa tidak cukup dengan segala kebutuhannya. Kalau begitu, kata kuncinya adalah ‘kebutuhan’ yang mendasari ukuran kesejahteraan seseorang.
Seseorang dapat dikatakan sejahtera apabila sudah terpenuhi segala kebutuhannya _bukan keinginannya_. Kebutuhan dasar seseorang mencakup pada 6 hal yakni sandang, papan, pangan, pendidikan, keamanan dan kesehatan. Jika kebutuhannya tersebut sudah terpenuhi maka layak orang tersebut dikatakan sejahtera walaupun berpenghasilan kurang dari US$ 2 perhari seperti standar PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Seberapa banyak atau sedikitnya upah seseorang per hari tidak akan menjadi ukuran kesejehteraan jika dia belum terpenuhi 6 aspek tersebut. Misalnya, seorang pegawai dengan gaji yang tinggi tetap tidak akan merasa sejahtera karena keamanannya terancam. Begitu pun seorang petani dengan penghasilan rendah akan merasa sejahtera karena pendidikannya terpenuhi serta kesehatannya terjaga, jika dia sakit mudah untuk memperoleh pelayanan dari rumah sakit atau tenaga medis.
Berangkat dari pemahaman dasar ini maka lahirlah konsep kesejahteraan menurut ekonomi Kapitalisme. Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, kebutuhan seseorang disamakan dengan keinginan sehingga ukuran kesejahteraan pun menjadi buram. Bahkan konsep ini cenderung menggelembung seiring dengan kaidah ‘kebutuhan manusia tidak terbatas’. Kalau begitu, manusia tidak akan pernah sejahtera karena kebutuhannya (sama dengan keinginannya) senantiasa terus bertambah dan tidak terbatas. Dalam ekonomi kapitalisme tidak ada pembedaan antara kebutuhan dan keinginan sehingga akan senatiasa tidak ada kejelasan batasan diantara keduanya. Dalam ekonomi Islam ada pembedaan diantara kebutuhan dan keinginan sehingga ukuran kesejahtaraan adalah jika seseorang sudah terpenuhi kebutuhannya.

Saat ini begitu banyak calon legislatif ataupun calon presiden dari berbagai partai yang menawarkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia dengan harapan dia terpilih pada Pemilu tahun ini. asumsi ini menggiring masyaraakt untuk senantiasa ‘coba-coba’ daalm berpolitik karena hampir setiap caleg atau capres menawarkan konsep yang sama seperti sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis dll. Namun, apakah cukup dengan itu kesejahteraan itu dapat tercapai? Dalam era demokrasi seperti saat ini konsep kesejahteraan yang ditawarkan tidaklah baku artinya senantiasa berubah-ubah maka konstituen pun senantiasa memiliki perubahan cara pandang ketika menentukan pilihannya.
Apabila seorang calon penguasa terpilih dan ternyata rakyat tidak kunjung sejahtera maka Pemilu selanjutnya rakyat akan memilih calon penguasa yang lain, kejadian ini terjadi berulang-ulang. Keadaan ini adalah buah dari tidak bakunya sistem hidup yang ada sehingga setiap orang senantiasa memberikan teori masing-masing yang belum tentu berhasil ketika diterapkan. Inilah bentuk dari kesalahan demokrasi ketika ketika berharap kesejahteraan padanya. Demokrasi memberikan kewenangan bagi setiap orang untuk mengemukakan teori tentang cara mengatur urusan masyarakat termasuk bidang ekonomi. Namun, teori tersebut akan senantiasa berubah tergantung pada siapa yang berkuasa.
Sistem kehidupan Islam merupakan aturan yang baku dari Alloh SWT dan Rosul-Nya yang telah memberikan pedoman dimana manusia tinggal menjalankannya. Dia-lah yang Maha Tahu apa kebutuhan manusia dan bagaimana cara memenuhi kebutuhannya tersebut. Ketika Islam berkuasa maka tidak ada perubahan dasar aturan kehidupan yang senantiasa berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunah. Apabila terjadi perbedaan pendapat maka pendapat tersebut lahir dari metode penggalian hukum dengan standar yang baku sehingga setiap pendapat adalah pedapat Islami. Dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga rakyat (dewan) berhak membuat aturan hidup. Dalam Islam, kedaulatan hanyalah ada pada syara’ dimana setiap orang tidak punya hak untuk membuat aturan karena sudah ada dari Alloh SWT.

Pemilu untuk Menuai Kesejahteraan?
Masihkan kita berharap pada Pemilu untuk menuai kesejahteraan? Padahal pemimpin yang telah terpilih tidak menerapkan aturan Islam sebagai kewajiban setiap individu Muslim. Sebaliknya, kekayaan alam negeri ini dijual kepada para Kapitalis untuk dieksploitasi padahal kekayaan itu hak rakyat yang harus digunakan untuk kepentingan rakyat. Legislatif yang terpilih telah menelorkan undang-undang yang justru mendzolimi rakyat seperti UU Pornografi, UU Badan Hukum Pendidikan, UU Minyak dan Gas, UU Sumber Daya Air dll. Udang-undang tersebut dibuat oleh wakil rakyat dimana isinya lebih berpihak pada golongan tertentu dan jauh dari tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.
Para wakil rakyat dan pemerintah akan senantiasa berdebat tentang bagaimana cara untuk mengatur urusan rakyat sehingga rakyat sejahtera. Padahal jika mereka mau sudah ada aturan Islam yang baku dari sang Maha Pencipta. Mereka adalah manusia biasa yang penuh dengan kelemahan sehingga pemikiran mereka terbatas dan tidak bisa menjangkau besarnya urusan manusia. Pengharapan kita pada mereka adalah pengharapan semu bahkan bisa mengguncang akidah kita karena pengharapan hanya pada Alloh SWT. Dia telah menjawab harapan kita yakni dengan memberikan aturan Islam sebagai pedoman untuk mencapai kesejahteraan yang kita inginkan. Aqidah kita mengharuskan untuk menjalankan Islam sebagai aturan hidup sehingga akan banyak hikmah yang kita rasakan yakni adanya keteraturan hidup. Kehidupan yang teratur akan melahirkan kondisi bangsa yang aman, nyaman dan tercapainya kemakmuran yang sejati.

Penutup: Tidak Pernah Ada Perasaan Cukup….
Sikap masyarakat Kapitalis saat ini tidak akan pernah merasa cukup dengan apa yang telah dimiliki karena tidak memiliki standar kesejahteraan yang jelas. Ideologi kapitalisme membuat manusia berikap tamak terhadap harta yang dimiliki bahkan cenderung bersifat konsumtif. Kalau begitu, sampai kapan pun manusia akan senantiasa merasa kurang dan selalu merasa ingin lebih. Keinginan ini yang mendorong mereka untuk berharap pada penguasa yang ada dan melupakan pengharapan mereka pada Alloh SWT.
Islam mengajarkan pada kita untuk bersikap qonaah artinya merasa cukup dengan kondisi yang ada jika semua kebutuhannya telah terpenuhi sembari manjalankan setiap perintah Alloh yang diturunkan padanya. Sikap seperti inilah yang mendorong orang untuk senantiasa bertaqwa kepada Alloh. Penguasa pun akan memiliki tanggung jawab untuk melayani umat karena itu adalah kewajiban yang harus dia penuhi. Wajar, ketika penguasa saat ini enggan untuk melayani rakyat karena mereka berkuasa bukan atas dasar keimanan pada Alloh tetpai karena kepentingan diri yang tidak pernah merasa cukup.

Jatinangor, April 2009
Muhammad Yusuf Ansori